Thursday, December 18, 2014

TABEL ILMU HADITS

APLIKASI TABEL / DIAGRAM RINGKASAN KLASIFIKASI HADITS DALAM ILMU MUSTHALAH HADITS


Aplikasi Diagram Musthalah Hadits ini hanya merupakan kumpulan dari beberapa artikel online tentang Ilmu Musthalah Hadits yang disatukan dalam satu Aplikasi Interaktif Sederhana untuk lebih memudahkan dalam membacanya.

Adapun Diagram atau Tabel Ringkasan ini dibuat oleh Abul-Jauzaa’ dengan banyak mengambil faedah dari buku Taisiru Mushthalahil-Hadiits karya Dr. Mahmuud Ath-Thahhaan, dan untuk masing-masing penjelasannya berasal dari beberapa sumber.
Selain itu disertakan juga beberapa artikel yang berkaitan dengan Ilmu Hadits.



File dapat didownload :
Google Drive:  Tabel Ilmu Hadits
Box :  Tabel Ilmu Hadits
Mediafire :  Tabel Ilmu Hadits

Mohon maaf bila terdapat kesalahan, koreksi dan masukan akan sangat diharapkan.

Klik Lihat petunjuk/cara mengunduh.

Pustaka Abu Muazzam mengharap do'a dan dukungan dari para ikhwah sekalian dalam pengadaan dan penyebaran aplikasi-aplikasi pembelajaran Islam yang dibagikan secara gratis dan bebas untuk disebarluaskan, demi kemajuan dan tersebarnya syi'ar Islam.Yang diharapkan hanyalah keridhoan Alloh Subhanahuwata'ala, semoga menjadi bekal dan menjadi amal sholeh yang terus mengalir. Aamiin.

Semoga bermanfaat.

Thursday, December 11, 2014

KALENDER MASEHI 2015

KALENDER MASEHI 2015 / 1436-1437 H

Kalender Tahun 2015 Masehi :



Jenis File :  PNG 
Resolusi   : 300 dpi,
Ukuran     :  A4 dan A3

Download Kalender Masehi 2015 :
- Kalender Masehi 2015 - A4
- Kalender Masehi 2015 - A3


Kalender Islam 1436 H :
Download Kalender Hijriah 1436 :
- Kalender Hijriyah 1436 - A4
- Kalender Hijriyah 1436 - A3

Semoga bermanfaat, mohon maaf bila ada kesalahan.

Sunday, October 26, 2014

HATI YANG MATI

banyak orang menangisi kematian jasad
tapi hanya sedikit sekali orang yang menangisi kematian hati
bila hati sudah mati ....
banyak jasad yang akan mati karenanya ...

Ibrahim bin Adham rahimahullah berkata :
“Wahai penduduk Bashrah, hati kalian telah mati pada sepuluh perkara,

Pertama, kalian mengenal Allah tapi tidak menunaikan hak-Nya.
Kedua, kalian membaca Al-Qur’an, tapi kalian tidak mengamalkannya.
Ketiga, kalian mengaku mencintai Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, 
tapi kalian meninggalkan sunnahnya.
Keempat, kalian mengaku memusuhi syaithan, tapi kalian mencocokinya.
Kelima, kalian mengatakan bahwa kami mencintai surga, 
tapi kalian tidak beramal untuk (memasuki)nya.
Keenam, kalian mengatakan bahwa kami takut dari neraka, 
tapi kalian menggadai diri-diri kalian untuk neraka.
Ketujuh, kalian mengatakan bahwa kematian adalah benar adanya, 
tapi kalian tidak bersiap untuknya.
Kedelapan, kalian sibuk membicarakan aib-aib saudara-saudara kalian, 
sedang kalian mencampakkan aib-aib kalian sendiri.
Kesembilan, kalian memakan nikmat-nikmat Rabb kalian, 
tapi kalian tidak menunaikan kesyukuran kepada-Nya.
Kesepuluh, kalian telah mengubur orang-orang mati kalian,
tapi kalian tidak mengambil pelajaran darinya.”

Monday, October 13, 2014

KALENDER HIJRIYAH 1436

 Almanak Islam 1436 Hijriyah /  Kalender Islam 1436 Hijriyah
Jenis File :  PNG 
Resolusi   : 300 dpi,
Ukuran     :  A4 dan A3

Download Kalender Hijriah 1436 :
- Kalender Hijriyah 1436 - A4
- Kalender Hijriyah 1436 - A3

Kalender Tahun 2015 M:

Jenis File :  PNG 
Resolusi   : 300 dpi,
Ukuran     :  A4 dan A3

Download Kalender Masehi 2015 :
- Kalender Masehi 2015 - A4
- Kalender Masehi 2015 - A3 

Semoga bermanfaat, maaf bila ada kesalahan.

Sunday, September 7, 2014

KEHARUSAN BERAMAL DAN DAKWAH BERDASARKAN ILMU

Oleh : Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Berikut ini terdapat beberapa tulisan/ pernyataan dari sebagian saudara kita yang mempertanyakan tentang keharusan berilmu sebelum beramal dan berdakwah.
Akan kami kutipkan pernyataan tersebut, kemudian setelah itu akan disebutkan tanggapan dan penjelasannya, bi idznillah. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan taufiq kepada kita semua :

KUTIPAN PERNYATAAN :
BERILMU SEBELUM BERAMAL
(a) Beramal itu memerlukan ilmu, dan ini sudah jelas dipahami semua orang.
(b) Berilmu itu berarti “mempunyai ilmu”, TETAPI pengertiannya BUKAN BERATI “menumpuk-numpuk ilmu”.
(c) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orangtua untuk menyuruh anaknya kalau sudah 7 tahun untuk SHOLAT. Seberapa BANYAK ILMU ketika anak itu disuruh untuk Sholat?
(d) Abu Bakar RA masuk Islam, kemudian Abu Bakar RA langsung terjun da’wah dan besoknya 5 orang masuk Islam di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seberapa BANYAK ILMU Abu Bakar RA ketika masuk Islam dan langsung terjun da’wah saat itu?
(e) Seorang ayah menyuruh anak-anaknya puasa di bulan Ramadhan. Seberapa BANYAK ILMU PUASA ketika menyuruh anak-anaknya untuk puasa di bulan Ramadhan?
- Apakah ayah itu harus hafal seluruh dalil-dalil perihal puasa, kemudian menyuruh anaknya puasa di bulan ramadhan?
- Apakah anak-anaknya itu harus hafal dahulu dalil puasa, kemudian puasa di bulan ramadhan?
(f) Artinya “BERILMU SEBELUM BERAMAL”, itu memang benar adanya. TETAPI ummat Islam harus bisa memahami pemahaman yang benar, jangan akhirnya harus banyak dahulu dalil, kemudian terjun da’wah. Nanti akhirnya banyak dahulu dalil, baru menyuruh anaknya untuk sholat dan puasa. Akhirnya anak-anaknya banyak yang tidak sholat dan puasa, KARENA orangtuanya harus harus BANYAK ILMU DAHULU baru menyuruh sholat.
(g) sama halnya dengan Ummat Islam, karena HARUS BANYAK ILMU DAHULU UNTUK DA”WAH, maka akhirnya ummat Islam banyak yang TIDAK SHOLAT, TIDAK PUASA, dikarenakan ummat Islam meninggalkan dari da’wah itu sendiri.
(h) KESALAHAN MEMAHAMI, MAKA AKAN BERDAMPAK PADA KEKERDILAN BERPIKIR DAN BERAMAL. Dan ini yang banyak terjadi di kalangan Ummat Islam sekarang ini.
Pikirkan!
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orangtua untuk menyuruh anaknya kalau sudah 7 tahun untuk SHOLAT. Seberapa BANYAK ILMU ketika anak itu disuruh untuk Sholat?kalau menunggu tahu betul dan hapal dalil-dalilnya sholat maka Insya Alloh umur 7 tahun belum sholat..
—— akhir kutipan ——–

TANGGAPAN DAN PENJELASAN:
Telah kita maklumi bersama bahwa sebelum seorang mengamalkan suatu amal ibadah, ia harus berilmu terlebih dahulu. Sebelum ia berdakwah, ia harus berilmu terlebih dahulu.
Al-Imam al-Bukhari menuliskan bab khusus dalam Shahihnya : Ilmu (Didahulukan) sebelum Perkataan dan Perbuatan. Beliau berdalil dengan ayat :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Maka ketahuilah (berilmulah), bahwasanya tidak ada yang sesembahan yang haq kecuali Allah dan mohonkanlah ampunan untukmu dan untuk kaum beriman laki-laki maupun wanita”. (Q.S Muhammad: 19).
Dalam ayat ini, Allah perintahkan untuk berilmu terlebih dahulu, kemudian berakidah bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan beristighfar (beramal atau berucap). Itu menunjukkan bahwa ilmu adalah pondasi sebelum seorang berakidah, berucap dan berbuat.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala juga berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah engkau berkata terhadap apa yang engkau tidak berilmu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya” (Q.S al-Israa’: 36).
Dakwah (mengajak orang ke jalan Allah) juga harus didasarkan pada ilmu.
Seseorang ketika akan berdakwah, ia harus mendasarkan dakwahnya pada ilmu. Berdakwah dengan dilandasi ilmu adalah sikap dan perbuatan para pengikut Nabi. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي…
“Katakanlah: Ini adalah jalanku. Aku berdakwah (mengajak manusia) menuju Allah, di atas bashirah. (Ini dilakukan oleh ) aku dan orang-orang yang mengikuti aku…” (Q.S Yusuf ayat 108)
Apa yang dimaksud dengan bashirah? Padahal dakwah harus didasarkan pada bashirah. Makna bashirah adalah pengetahuan (ilmu) yang membedakan antara al-haq dengan al-batil. Definisi itu dijelaskan oleh al-Imam al-Baghowy (salah seorang Ulama bermadzhab Syafii) dalam tafsirnya (4/284)).
Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa
al-bashirah mengandung 3 hal:
Berilmu ttg materi yang akan disampaikan/ didakwahkan berdasarkan dalil-dalil al Quran dan Sunnah Nabi.
Berilmu ttg keadaan orang-orang yang didakwahi.
Berilmu ttg cara yang terbaik utk mendakwahi orang-orang tsb.
Karena itu landasan untuk beramal atau berdakwah tidak boleh sekedar ikut-ikutan (taklid: hanya berdasarkan katanya….katanya….), tapi harus ittiba’ (mengikuti dalil). Dalil yang dijadikan acuan adalah al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih, dengan pemahaman para Sahabat Nabi.
Dalam sebagian hadits,Nabi menyebutkan keadaan orang yang diadzab di alam kubur adalah orang-orang munafik atau kafir yang mendasarkan akidahnya pada katanya dan katanya (hanya sekedar ikut-ikutan tanpa dalil).
وَأَمَّا الْكَافِرُ أَوْ الْمُنَافِقُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ فَيُقَالُ لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ
“Sedangkan orang kafir atau munafiq mereka mengatakan: “Saya tidak mengetahui (tidak berilmu). Saya katakan seperti yang diucapkan orang-orang”. Maka dikatakan kepadanya (orang itu): Engkau tidak (mau) mengetahui dan engkau tidak (mau) membaca. Kemudian ia dipukul dengan palu dari besi sekali pukul di antara kedua telinganya, maka ia berteriak dengan teriakan yang didengar makhluk di sekelilingnya kecuali Jin dan manusia” (H.R al-Bukhari no 1252 dari Anas bin Malik)

Hadits ini memberikan pelajaran kepada kita untuk cermat dan semangat dalam mempelajari ilmu Dien. Karena sangat banyak sekali yang beredar di tengah-tengah masyarakat kita hal-hal yang sekedar katanya dan katanya, padahal hal itu tidak berdasar dalil al-Quran maupun hadits Nabi yang shahih. Padahal, jika kita melandaskan pengamalan Dien kita hanya berdasarkan katanya orang-orang awam, maka kita terancam mendapatkan adzab kubur seperti yang disebutkan dalam hadits di atas, karena kita tidak tergerak untuk mencari tahu dalilnya, dan belajar ilmu Dien secara benar. Merasa cukup dengan pengetahuan yang dimiliki padahal pengetahuannya hanya berdasarkan asumsi dan persangkaan saja.
Merasa diri sudah berilmu tentang itu padahal belum.Salah satu bentuk ketidakpedulian terhadap ilmu adalah ketidakpedulian terhadap penelitian status keshahihan hadits. Padahal itu adalah salah satu bentuk bashirah dalam berdakwah. Seseorang dikatakan memiliki bashirah dalam dakwah jika ia menyampaikan hadits-hadits yang jelas berasal dari Nabi, dan tidak menyampaikan hadits-hadits palsu atau lemah yang dianggap kebanyakan orang berasal dari Nabi. Memisahkan mana hadits yang bisa dijadikan hujjah dan mana yang tidak adalah bagian dari memisahkan al-haq dengan yang batil, dan itulah bashirah yang . merupakan salah satu syarat dalam berdakwah, seperti dalam surat Yusuf ayat 108 di atas.
Lalu, sampai batas mana ilmu yang kita miliki kita dakwahkan kepada orang lain?
Sebatas yang kita tahu ilmunya, itulah yang kita sampaikan. Jangan memaksakan diri menyampaikan hal-hal yang kita sendiri belum tahu ilmunya.
Sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu menyatakan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَنْ عَلِمَ شَيْئًا فَلْيَقُلْ بِهِ وَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ فَلْيَقُلْ اللَّهُ أَعْلَمُ فَإِنَّ مِنْ الْعِلْمِ أَنْ يَقُولَ لِمَا لَا يَعْلَمُ اللَّهُ أَعْلَمُ
“Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang mengetahui (berilmu) tentang sesuatu, maka ucapkanlah (sampaikan) sesuai ilmunya. Barangsiapa yang tidak mengetahui sesuatu, maka katakanlah : Allaahu A’lam (Allah yang Paling/ Lebih Tahu). Karena sesungguhnya termasuk bagian dari ilmu adalah seseorang mengatakan Allahu A’lam dalam hal-hal yang tidak diketahuinya”. (riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Bukanlah sebuah keharusan kita mengetahui dalil secara lengkap dengan tepat persis lafadznya kata per kata. Bukanlah sebuah keharusan setiap kali kita mengajak orang untuk mengamalkan sesuatu, kemudian kita sampaikan lafadz haditsnya diriwayatkan oleh siapa dari Sahabat siapa. Itu bukan keharusan. Jika itu dilakukan, itu adalah tambahan kebaikan dan kesempurnaan, tapi bukan keharusan.
Cukup seseorang yang melarang saudaranya sesama muslim laki-laki yang memakai sutera atau emas menyatakan: Wahai saudaraku, janganlah memakai itu. Bukankah Nabi kita telah melarangnya dalam hadits-hadits yang shahih? Ucapan demikian sudah termasuk menyertakan dalil. Tidak harus dia tahu dan hafal persis lafadz haditsnya. Tapi yang jelas ia tahu dengan yakin – karena pernah mendengar dari majelis ilmu atau sumber lain yang berasal dari Ahlul Ilmi- bahwa itu memang berasal dari hadits yang shahih. Maka, dalam hal ini ia telah berdakwah sesuai dengan dalil.
Tidak sedikit para Sahabat Nabi ketika melarang dari suatu hal mereka sekedar menyatakan: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melarang dari hal itu. Atau, para Sahabat menyatakan: termasuk Sunnah adalah begini dan begini…Kadangkala sebagian Sahabat menyatakan : Hal itu dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku (maksudnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam), atau dengan kalimat yang semakna dengan itu. Itu semua adalah bentuk penyampaian dalil. Walaupun banyak pula penyampaian dari Sahabat Nabi yang meriwayatkan persis secara lafadz kata per kata.
Dalam kondisi tertentu, dalam berdakwah cukup bagi kita untuk menyampaikan fatwa Ulama’ saja, karena fatwa Ulama Ahlussunnah adalah berisi ilmu. Allah perintahkan kepada kita untuk bertanya kepada para Ulama’ dalam permasalahan agama jika kita tidak tahu.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada Ulama jika kalian tidak mengetahui “. (Q.S anNahl ayat 43 dan al-Anbiyaa’ ayat 7).

Allah perintahkan kepada kita untuk bertanya kepada Ulama dalam hal-hal yang tidak kita ketahui. Jawaban para Ulama itu berupa fatwa-fatwa. Kadangkala mereka sertakan dalil. Kadangkala dengan keadaan tertentu, mereka jawab secara ringkas, tanpa menyertakan dalil. Bukan karena mereka tidak tahu, tapi justru tidak disertakannya dalil itu sebagai bentuk kasih sayang kepada kita. Karena jika disebutkan semua dalil, kita yang lemah ilmu itu justru sulit menyimpulkan keterkaitan antar dalil itu. Karena kelemahan kita, kadangkala suatu dalil yang memang menunjukkan suatu hal, kita anggap tidak ada hubungannya sama sekali.
Inilah bedanya jika kita ikuti ucapan orang awam yang katanya dan katanya –seperti disebutkan contoh taklid di atas- dengan kalau kita beramal dengan fatwa Ulama’. Dalam kondisi kita belum sempat atau belum mampu mencari dalilnya secara langsung, fatwa Ulama bisa dijadikan patokan. Fatwa Ulama juga menjadi pedoman dalam memahami dan menerapkan dalil.
Hal yang salah adalah jika seseorang memanfaatkan ketergelinciran seorang Ulama dalam sebagian fatwanya padahal jelas bertentangan dengan dalil shahih –karena belum sampainya hujjah kepada beliau-, dan berbeda dengan penjelasan Ulama Ahlussunnah yang lain yang berhujjah dengan hujjah yang kuat dan benar.
Kadangkala, kita hanya perlu memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar tanpa harus menyertakan dalil.
Karena itu, seorang ayah yang memerintahkan anaknya usia tamyiz 7 tahun untuk sholat, tidaklah mesti menyajikan dalil-dalil yang detail dalam perintahnya. Karena dalam hadits Nabi, kewajiban sang ayah adalah sekedar ‘memerintahkan’, tidak harus menyertakan dalil.
Tentunya perintah ini harus diiringi dengan adab dan teladan yang baik serta pengarahan bagaimana tata cara sholat yang benar. Tentunya hal itu harus dilandasi dgn ilmu, bukannya tanpa ilmu sama sekali.

Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk sholat pada saat usia mereka 7 tahun, dan pukullah mereka (jika meninggalkan sholat) pada saat usia 10 tahun”. (H.R Abu Dawud)

Sedangkan untuk menyuruh anak berpuasa, bisa melalui latihan berpuasa saat mereka masih belum baligh, dan barulah mereka berkewajiban menunaikan puasa saat sudah mencapai usia baligh (sekitar 15 tahun atau sebelum itu jika telah terpenuhi syarat-syarat baligh).
Menuntut ilmu bukanlah sekedar mengumpulkan riwayat dan hafalan atau tulisan. Bukan itu tujuannya. Menuntut ilmu bertujuan untuk membuahkan amal sholih, meningkatkan taqwa dan perasaan takut kepada Allah. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita.
Menuntut ilmu bertujuan –dengan niat ikhlas karena Allah- untuk menghilangkan kebodohan dalam diri kita sendiri kemudian setelah itu menghilangkan kebodohan (ketidaktahuan) pada saudara kita yang lain melalui ta’lim, dakwah, dan penyampaian (tabligh).
Sebagian orang meremehkan diadakannya majelis ilmu dan ta’lim, dianggap tidak berkontribusi banyak dan kurang manfaatnya bagi kaum muslimin. Padahal melalui majelis ilmu di masjid-masjidlah lahir para Ulama besar, bertaubat serta mendapat hidayah sekian banyak orang, tercetak generasi-generasi yang berakidah Islam dengan benar. Tidak ada yang bisa menghitung demikian banyak dan besar manfaatnya majelis-majelis ilmu itu secara pasti selain Allah.
Melalui majelis ilmu-lah terkumpul dua hal utama: menuntut ilmu dan dakwah (tabligh).
Majelis ilmu adalah Sunnahnya Nabi dan para Sahabatnya. Melalui majelis ilmu itulah kemudian berkembang dakwah Islam.
Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu anhu segera bersemangat untuk mendakwahkan Islam kepada orang-orang yang dikenalnya. Sehingga melalui beliau masuk Islamlah beberapa Sahabat Nabi seperti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin al-Awwam, dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah.
Hal yang dilakukan oleh Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu anhu adalah:
Mendakwahkan kepada orang –orang dekat dan yang sudah dikenal.
Mendakwahkan tauhid (Laa Ilaaha Illallah)/ akidah sehingga mereka mau masuk Islam.
Hal ini bertentangan dengan yang dilakukan sebagian orang yang meniatkan safar untuk berdakwah ke luar kota, mengajak orang-orang yang tidak dikenal. Dengan alasan, kalau menyampaikan kepada orang yang belum dikenal akan lebih mudah dan tidak malu. Sedangkan orang-orang terdekat dan yang dikenal serta bisa menerima dakwah masih butuh dengan dakwahnya, tapi lebih sering ia tinggalkan untuk tujuan dakwah ke tempat yang lebih jauh dan berpindah-pindah. Selain itu, mereka hanya mengajarkan fadhilah-fadhilah amal saja. Tidak menjelaskan tentang akidah dan fiqh Islam dengan alasan itu banyak khilafiyah di dalamnya dan bisa memecah belah kaum muslimin.
Padahal, yang didakwahkan Abu Bakr as-Shiddiq adalah masalah akidah. Akibat dari dakwah Abu Bakr itulah kemudian Sahabat-Sahabat yang diajaknya itu menjadi masuk Islam dan meninggalkan kesyirikan. Berbeda dengan sekelompok orang-orang tersebut yang justru meninggalkan pembicaraan tentang tauhid Uluhiyyah dan kesyirikan karena khawatir memecah belah kaum muslimin. Belum lagi tentang masalah fiqh, mereka juga tidak membahasnya. Padahal dengan pembahasan fiqh yang didasarkan pada dalil yang shahih seseorang bisa sholat dan beribadah dengan cara yang benar. Mereka hanya mengajak orang untuk sholat, tapi tidak mendetailkan bagaimana tata cara sholat yang benar. Sekali lagi pembahasan itu ditinggalkan/ diabaikan dengan alasan khawatir memecah belah umat.
Tidaklah umat bisa bersatu kecuali dengan cara bersatunya para Sahabat Nabi. Mereka hanya bisa dipersatukan di atas tauhid dan Sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam. Konsekuensi dari menyampaikan tauhid adalah memperingatkan dari bahaya kesyirikan. Konsukensi dari menyampaikan Sunnah Nabi adalah memperingatkan dari bahaya kebid’ahan. Dua sisi yang tidak bisa terpisahkan.
Selain itu, safar untuk tujuan dakwah (menyampaikan ilmu) di masa Nabi tidak dilakukan oleh setiap Sahabat Nabi. Tapi Sahabat-Sahabat pilihan yang telah kokoh keilmuannya. Tidak setiap orang yang baru kenal Islam, atau baru semangat untuk belajar Islam langsung diarahkan untuk berdakwah secara khusus dengan melakukan safar 3 hari, 7 hari, atau 40 hari, dan semisalnya.
Nabi mengutus Muadz ke Yaman untuk berdakwah karena beliaulah (Muadz) yang paling mengenal halal dan haram di kalangan umat Nabi. Karena itu, sebagai penyampai dakwah ke luar, bukanlah setiap orang bisa. Tapi hanya orang yang berilmu.
Orang yang baru kenal Islam atau baru semangat untuk kembali mempelajari Islam, harusnya lebih banyak diarahkan untuk mempelajari ilmu yang benar (bukan sekedar fadhilah-fadhilah amal saja). Bukannya diarahkan untuk safar dengan tujuan utama berdakwah. Kalaulah diarahkan untuk safar, mestinya tujuan utamanya adalah untuk menuntut ilmu, bukan dakwahnya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh para Sahabat Nabi di masa dulu. Mereka melakukan perjalanan lintas kota bahkan negara untuk mendengar satu atau beberapa hadits saja. Tujuan utama adalah menuntut ilmu.
Tentu saja sekali lagi ditekankan, setiap orang yang telah berilmu dituntut beramal dan berdakwah sesuai ilmunya. Sesuai kadarnya. Namun, untuk tujuan utama berdakwah hingga melakukan safar, tidaklah yang melakukannya kecuali orang yang benar-benar kokoh keilmuannya. Sebagaimana hal itu dilakukan oleh para Sahabat Nabi.
Sedangkan untuk menuntut ilmu dengan safar, sebelumnya telah dilakukan Nabiyullah Musa ‘alaihissalam atas perintah Allah untuk melakukan safar dalam rangka menuntut ilmu ke Khidhr. Seperti yang dikisahkan dalam Surat al-Kahfi ayat 60-82.
Karena itu, jika ada sekelompok orang yang bertujuan menyampaikan dakwah (tabligh), namun :
- Tidak menguatkan pondasi ilmu sebelumnya
- Tidak membahas akidah dalam tablighnya
- Tidak membahas fiqh dalam tablighnya
- Hanya membahas fadhilah-fadhilah amal atau adab-adab saja.
- Tidak perhatian terhadap keshahihan atau kelemahan hadits.
- Menganjurkan setiap orang untuk keluar berdakwah, meski mereka masih sangat butuh dengan ilmu yang benar.
Maka ketahuilah bahwa apa yang dilakukan itu pada hakekatnya bukanlah tabligh (penyampaian ilmu), akan tetapi justru tabliid (pembodohan).
Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, dan ampunanNya kepada seluruh kaum muslimin…..
Sumber : WA al-I’tishom – Probolinggo [http://www.darussalaf.or.id/nasehat/keharusan-beramal-dan-dakwah-berdasarkan-ilmu/]

Wednesday, July 16, 2014

Raihlah Keutamaan di Sepuluh hari terakhir Ramadhan!

Keutamaan Lailatul Qadar

Lailatul Qadar adalah suatu malam yang penuh dengan keutamaan dan barokah. Allah Subhanallahu wa Ta’ala Yang Maha Pemberi barakah telah menjelaskan hal itu dalam surat Al Qadr (artinya):

“Dan tahukah kamu apa malam lailatul qadar itu?. Yaitu suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turunlah para malaikat dan ruh (malaikat Jibril) dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al-Qadr: 2-5)

Sehingga malam itu pun dipenuhi barakah yang berlimpah ruah, sebuah ibadah yang dilakukan pada malam itu dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lebih baik daripada ibadah yang dilakukan selama seribu bulan selain Ramadhan. Tentu keutamaan yang amat besar ini akan membuat hati yang jernih dan akal yang sehat terdorong dan berharap untuk dapat meraihnya.


Kapan terjadinya lailatul qadar?

Malam lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadhan, sekali dalam setahun. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ – يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ – فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى

”Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, jika ada diantara kalian lemah, maka jangan sampai luput dari tujuh malam yang tersisa (terakhir).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Al-Imam Muslim yang lain, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

… فَاطْلُبُوهَا فِى الْوِتْرِ مِنْهَا

…. maka carilah pada malam yang ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari: “Pendapat yang paling kuat tentang terjadinya lailatul qadar adalah pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan terjadinya tidak menetap pada malam tertentu dalam setiap tahunnya.”

Adapun memastikan suatu malam dari bulan Ramadhan bahwa ia adalah malam lailatul qadar (di tahun tersebut), maka membutuhkan dalil (yang shahih dan jelas) dalam penentuannya. Namun malam-malam ganjil pada sepuluh terakhir itu hendaknya lebih dijaga dibanding selainnya, dan malam keduapuluh tujuh hendaknya lebih dijaga lagi daripada malam-malam ganjil selainnya yang dimungkinkan bertepatan dengan lailatul qadar. (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah li Al-Buhuts wa Al-Ifta`)

Apa yang seharusnya dilakukan di malam tersebut?

Pertama: Bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir melebihi kesungguhan pada malam-malam selainnya, dalam hal shalat, membaca Al-Qur’an, berdo’a, dan ibadah-ibadah yang lainnya. ‘Aisyah s menceritakan:

كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ

“Dahulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam jika memasuki sepuluh malam terakhir, beliau menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya, serta mengencangkan tali pinggangnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Al-Imam Ahmad dan Muslim: “Dahulu beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir yang tidak sama kesungguhannya dengan malam-malam selainnya.”

Kedua: Menegakkan shalat tarawih dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang menegakkan shalat pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah, maka pasti akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Jama’ah, kecuali Ibnu Majah).

Ketiga: Membaca do’a sebagaimana yang diajarkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam kepada ‘Aisyah radliyallahu ‘anha. ‘Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku menjumpai suatu malam bahwa itu adalah malam lailatul qadar, apa yang harus aku baca pada malam itu? Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Ucapkanlah (berdo’alah):

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفوَ فَاعْفُ عَنِّي .

“Ya Allah! Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf Maha Mulia lagi suka memaafkan, maka maafkanlah aku.” (HR. At-Tirmidzi)

I’tikaf

I’tikaf adalah usaha untuk senantiasa menetap di masjid disertai dengan menyibukkan diri dengan ibadah (seperti menegakkan shalat-shalat sunnah disamping shalat lima waktu, memperbanyak membaca Al Qur’an, memperbanyak dzikir, do’a, dan istighfar), meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat (seperti mengobrol, cerita, senda gurau dan semisalnya), dan tidak keluar dari masjid selama i’tikaf, kecuali bila ada keperluan yang mengharuskan untuk keluar (seperti buang hajat atau semisalnya).

‘Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Yang disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak berta’ziyah, tidak menggauli dan mencumbu istrinya, serta tidak keluar dari masjid untuk sebuah kebutuhan kecuali perkara yang mengharuskan untuk keluar.”

Padahal dalam agama Islam, menjenguk orang sakit dan berta’ziyah keduanya merupakan perkara yang sangat dianjurkan. Namun demikian, ia menjadi gugur ketika menjalankan ibadah i’tikaf di masjid. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya perkara i’tikaf tersebut. Sehingga orang yang beri’tikaf hendaknya bersungguh-sungguh menggunakan waktunya untuk bermunajat kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala.

Ini merupakan sebuah sunnah (ibadah) yang perlu kita hidupkan dan semarakkan, karena hampir-hampir sunnah ini menjadi asing ditengah-tengah umat Islam. Padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam selalu beri’tikaf di bulan Ramadhan.

Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata: “Dahulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam beri’tikaf pada setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari, dan pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Al Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)


Zakatul Fitri (Zakat Fitrah) dan Takarannya

Zakat Fitrah diwajibkan atas setiap muslim, baik merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, sebagaimana pernyataan shahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma: ”Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah sebanyak 1 sha` kurma atau 1 sha` sya’ir (gandum), (dan diwajibkan) baik atas orang merdeka ataupun budak, laki-laki ataupun perempuan, dewasa ataupun anak-anak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Takaran Zakat Fitrah adalah 1 (satu) sha` (2,5kg). Sebagian ulama berpendapat 1 sha` sama dengan 3 kg makanan pokok, seperti beras.


Manfaat Zakat Fitrah

Manfaat zakat fitrah adalah:

1. Sebagai pembersih atau penyuci jiwa orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak ada manfaatnya dan perkataan yang keji.

2. Sebagai subsidi makanan bagi orang-orang miskin

Shahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata:

فَرَضَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

”Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci jiwa orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak ada manfaatnya dan perkataan yang keji dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat Id, maka terhitung sebagai zakat yang diterima (sah sebagai zakat fitrah, red), dan barangsiapa menunaikannya setelah selesai shalat Id, maka itu adalah shadaqah dari shadaqah-shadaqah biasa.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)


Kapan Zakat Fitrah Dibayarkan?

Zakat Fitrah dibayarkan pada hari raya Idul Fitri sebelum shalat Id dilaksanakan, atau sehari/dua hari sebelum Idul Fitri. Oleh karenanya dinamakan Zakat Fitrah karena pembayarannya pada hari Idul Fitri (ini adalah waktu yang paling utama), atau dekat dengan Idul Fitri. Dahulu, setelah umat Islam semakin banyak, sebagian para shahabat membayarkan Zakat Fitrah sehari atau dua hari sebelum hari raya Idul Fitri, sebagaimana disebutkan dalam atsar Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya. Kapan saja zakat fitrah dibayarkan pada salah satu dari waktu-waktu tersebut, maka terhitung sebagai zakat fitrah yang sah. Sebagaimana dalam hadits di atas: ”Barangsiapa membayarnya sebelum shalat Id, maka ia adalah zakat yang diterima (sah sebagai zakat fitrah, red).”

Kepada Siapa Zakat Fitrah Diberikan?

Zakat Fitrah tidak seperti zakat-zakat lain dalam hal sasaran pembagian. Karena Zakat Fitrah hanya diberikan kepada fakir-miskin, tidak kepada selainnya. Hal ini sebagaimana dalam hadits di atas: ”Zakat Fitrah sebagai makanan bagi orang-orang miskin.”

Bolehkah Zakat Fitrah dibayar dengan uang tunai?

Mayoritas ulama tidak membolehkan zakat fitrah dibayar dengan uang, karena yang demikian tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sementara sangat memungkinkan di masa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam zakat fitrah dibayar dengan uang (dinar atau dirham). Namun, beliau memerintahkan untuk membayar Zakat Fitrah dengan kurma atau sya’ir (gandum, bahan makanan pokok di masa itu). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. (Lihat Fatawa Asy-Syaikh Bin Baz dan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin).Wallähu a’lam bish showäb.

Penutup

Semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala menerima amalan-amalan ibadah kita semua, mengampuni dosa-dosa kita semua, dan menggolongkan kita kepada golongan orang-orang yang bertaqwa dengan shaum Ramadhan yang kita laksanakan. Amïn Yä Mujïbas Sä`ilïn..

Sumber :
http://buletin-alilmu.net/2010/08/19/raihlah-keutamaan-di-sepuluh-hari-terakhir-ramadhan/

Tuesday, June 17, 2014

SETIAP ANAK "CERDAS" (MULTIPLE INTELLIGENCES)



Kekeliruan Buku Pendidikan (6): Setiap Anak "Cerdas" (Multiple Intelligences)
 
    Dalam buku Sekolahnya Manusia, hal. xxii, Munif Chatib berkata, "... saya menjelaskan teori multiple intelligences yang dikembangkan oleh Howard Gardner sebagai landasan teori."
Dalam artikel "Apa Itu Multiple Intelligences (MI)?" dituliskan,

"Kecerdasan yang dijelaskan Gardner yaitu:
1. Verbal-linguistik
            Berkaitan dengan kata-kata, lisan atau tertulis. Orang-orang yang ahli dalam area ini umumnya bagus dalam menulis, orasi dan cenderung belajar dari metode ceramah. Mereka juga cenderung memiliki kosa kata yang luas serta belajar bahasa dengan mudah.
2. Logis-matematis
            Berkaitan dengan angka dan logika.Mereka yang cenderung memiliki kecerdasan ini umumnya unggul dalam matematika dan pemrograman komputer. Karir kemungkinan melibatkan sains dan pemrograman komputer.
3. Visual-spasial
            Berkaitan dengan gambar dan ruang. Orang-orang pada kelompok ini umumnya memiliki koordinasi penglihatan yang tinggi, dapat menafsirkan seni dengan baik. Orang orang seperti ini biasanya artis, pekerja tangan dan insinyur.
4. Kinestetik-jasmani
            Berkaitan dengan koordinasi otot, gerakan dan melakukan sesuatu. Pada kategori ini, umumnya orang yang mahir dalam olah raga dan tari, bekerja lebih baik ketika bergerak. Sebagai tambahan, mereka belajar lebih baik dengan melakukan sesuatu dan berinteraksi secara fisik. Kebanyakan penari, pesenam dan atlet berada pada kategori ini.
5. Musikal
            Berkaitan dengan pendengaran. Mereka yang baik dalam kecerdasan ini cenderung menyanyi dan memiliki pola titinada yang lebih baik, serta lebih menyukai musik. Musik juga membantu mereka yang berada pada kategori ini bekerja lebih baik, selain itu belajar cenderung lebih menyerap jika melalui ceramah.
6. Interpersonal
            Berkaitan dengan interaksi dengan yang lain. Orang-orang yang termasuk kategori ini biasanya ekstrovert dan baik dengan orang-orang. Mereka bisa bersifat karismatik, meyakinkan dan diplomatis. Mereka cenderung belajar lebih baik dalam kelompok, misalnya dalam diskusi.
7. Intrapersonal
            Berkaitan dengan diri sendiri. Orang- orang yang termasuk kategori ini seringkali introvert dan memiliki filosofi yang sangat rumit. Mereka seringkali berakhir dalam karir keagamaan atau psikologi dan suka menyendiri.
8. Naturalis
            Berkaitan dengan alam. Orang-orang pada kategori ini tidak hanya baik dengan kehidupan tapi juga dengan berbagai fungsi dan mekanisme di belakangnya; bahkan kebanyak orang dalam kategori ini mengklaim merasakan kekuatan kehidupan dan energi. Pada area ini biasanya ahli biologi atau lingkungan."
            Inilah konsep yang beberapa tahun terahir ini, jagad pendidikan diramaikan oleh teori pendidikan yang mula-mula dicetuskan oleh Howard Gardner. Teori tersebut adalah teori Multiple Intelligences.
            Teori ini berpendapat bahwa manusia memiliki kecerdasan majemuk. Kecerdasan-kecerdasn itu antara lain: kecerdasan musikal, kinestetik, logis- matematis, linguistik, spasial, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.
 
Benarkan demikian?

Kita sebagai seorang muslim, harus mengetahui, Allah ta’ala berfirman yang artinya,
            “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."  (QS. Al Hujuraat [49]:6 )
            Kriteria orang fasik, bisa saja ini seorang muslim, maka beritanya tetap dicek kebenarannya. Apalagi seorang non muslim, maka seharusnya kita lebih komprehensif lagi dalam mengecek kebenarannya.
            Kalau begitu, mari kita "kupas" teori ini. Yang mana, kita mengaggap teori ini merupakan "evolusi" dari sistem pendidikan kita selama ini.
            Teori ini muncul ada tahun 1965, oleh Howard Gardner. Ia menyatakan bahwa setiap orang memiliki semua komponen (spectrum) kecerdasan, memiliki sejumlah kecerdasan yang tergabung yang kemudian secara personal menggunakannya dalam cara yang khusus. (Teaching and Learning through Multiple Intelligences, Massachusetts: Allyn and bacon, 1996, Hal.XV)
            Berkata Alamsyah Said, S.Pd., M.Si.,
"... membaca buku “Intelligence Reframed” karya Howard Gardner. Apa yang ada dibenak saya seolah terbukti, bahwa acuan dan landasan pemikiran teori multiple intelligences Howard Gardner mengacu pada teori evolusi Darwin. Acuan ini semakin menguat ketika referensi tokoh yang ditampilkan Gardner berlatar belakang Anglo-Katolik-Yahudi-Ortodoks, Kristen, Hindu dan Atheis."
            Astagfirulloh! Ini merupakan ancaman buat kita, bahwa ternyata teori ini dibangun bukan di atas agama Islam, bukan dari al-Qur'an dan as-Sunnah.

Maka betul apa yang sempat dikatakan oleh seorang pendidik,
            "Pintu terbesar yang paling mudah dimasuk oleh Yahudi adalah 2. Yaitu dunia psikologi dan dunia pendidikan."
            Maka mari kita waspadai teori MI ini.
            Buku 'Frames of Mind' yang ditulis Howard Gardner pada 1983 kemudian mengedepankan tujuh representasi mental berlandaskan teori psikologi perkembangan Charles Darwin. Dari tujuh representasi mental tersebut, Gardner memunculkan tujuh klasifikasi “kecerdasan” yang independen dan terbagi. Singkatnya, evolusi adalah password “ilmiah” yang digunakan Howard Gardner dalam penekanan teori multiple intelligences.
            Dan jawaban tentang teori evolusi Darwin ini, telah disampaikan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al Utsaimin rahimahullah,
            “Ucapan ini tidak benar, bahwa asal muasal manusia adalah monyet (teori evolusi). Dan meyakininya adalah kekafiran karena merupakan tindakan mendustakan Al-Qur`an. Hal itu karena Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa asal penciptaan manusia adalah dari tanah, dengan diciptakannya Adam alaihissalam sebagai nenek moyangnya manusia. Kemudian Allah Ta’ala menjadikan (baca: menciptakan) anak keturunannya (Adam) dari air yang hina (sperma).
            Sementara monyet yang kita kenal adalah jenis lain dari makhluk (Allah). Dia adalah makhluk yang diciptakan sudah demikian asalnya, Allah Tabaraka wa Ta’ala menciptakannya dengan sifat seperti itu. Sama seperti keledai, anjing, baghal, kuda, onta, sapi, kambing, rusa, ayam, dan selainnya.
            Karenanya tidak boleh ada seorangpun, bahkan tidak boleh bagi negara Islam yang menyandarkan dirinya kepada Islam untuk menjadikan hal ini sebagai kurikulum dalam sekolah-sekolah mereka. Bahkan wajib atas (pemerintah) negara tersebut untuk menghilangkan ilmu ini dari sekolah sekolah mereka. Karena jika siswa tumbuh dengan keyakinan seperti ini sejak kecilnya, maka dia akan sulit untuk terlepas darinya. Bahkan saya menilai tidak bolehnya untuk mengajarkan hal ini di sekolah-sekolah walaupun itu dalam rangka untuk membantah dan menyanggahnya. Akan tetapi ilmu ini dibantah tanpa harus diajarkan di sekolah-sekolah. Karena meletakkan sesuatu lalu berusaha untuk mencabutnya akan menimbulkan mafsadat. Akan tetapi tidak meletakkannya (baca: mengajarkannya) dari awal sama sekali itu lebih baik daripada meletakkannya kemudian baru dicabut (baca: dibantah) dan disanggah.”  [Kaset Nur Ala Ad-Darb no. 55]

Inilah keruntuhan teori Darwin.
            Pertanyaannya, mengapa teori multiple intelligences masih bertahan? Alamsyah Said menjawab, "Howard Gardner tidak sendirian, ia mendapat legitimited dari para kolega ilmuwan Anglo-Katolik-Yahudi Ortodoks, Kristen, Hindu dan Atheis memberikan dukungan akademik (intelektual-moralis) terhadap kebenaran teori evolusi Darwin."
            Maka dari itu, kita tak boleh latah dengan teori MI (Multiple Intelligences) ini.
            Bahkan Adi Guritno berkata dalam artikel 'Kritik Terhadap Teori Multiple Intelligences Howard Gardner',
            "Belum ada tes yang mampu mencakup serangkaian instrumen untuk mengukur kecerdasan itu secara absolut."
            Coba kita melangkah, lihat kecerdasan musikal, apakah ini dibenarkan dalam Islam? Mungkinkah Alloh menciptakan manusia dengan kecerdasan musikal? Sementara Alloh dan Rosul-Nya mengharamkan musik!
 
            Allah Ta’ala berfirman, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna sehingga dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan.” (QS. Luqman: 6)
            Abdullah bin Mas’ud berkata menafsirkan ‘perkataan yang tidak berguna’, “Dia -demi Allah- adalah nyanyian.”
            Demikianlah kekeliruan MI ini.
           
Kalau kita mau jujur secara akademik terhadap fakta-fakta sejarah kehidupan, maka kita akan sepakat, bahwa jauh sebelum legitimasi akademik Howard Gardner, para salaf telah menunjukkan bukti "multiple" kecerdasan. Mari kita tengok Sahabat Rasulullah Muhammad, Salman Al-Farisi rodiyallohu anhu memberikan solusi terhadap problem pengepungan Quraisy dengan pengenalan peta wilayah yang sangat baik. Usamah bin Zaid yang menjadi panglima perang menyerang Romawi di usia 22 tahun. Dan lain sebagainya.

Pertanyaannya adalah, "Apakah dengan kecerdasan itu mereka diciptakan?"
            Bukan!
            Cobalah kita membuka lembaran lembaran Al Qur’an dan kita jumpai pada surat Adz Dzariyat ayat 56. Di sana, Allah Ta’ala berfirman,   “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. ” (QS. Adz Dzariyat: 56)
            Abdurrahman As Sa’di dalam tafsir beliau mengatakan, “Inilah tujuan Allah menciptakan jin dan manusia dan Allah mengutus seluruh para rasul untuk menyeru menuju tujuan ini yaitu ibadah yang mencakup di dalamnya pengetahuan tentang Allah dan mencintai-Nya, bertaubat kepada-Nya, menghadap dengan segala yang dimilikinya kepada Nya dan berpaling dari selain-Nya.”
            Dari sini, kita katakan bahwa orang-orang yang diberikan kecerdasan senantiasa mengalokasikannya untuk peribadahan kepada Alloh semata. Bertauhid! Jauh dari syirik! Sehingga hidup dan matinya hanya untuk Alloh subhanahu wa ta'ala.
            Shahabat yang mulia, putra dari shahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan,
            “Aku sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata,
            ‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’
            Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka. ’
            ‘Mukmin manakah yang paling cerdas?’, tanya lelaki itu lagi.
 
            Beliau menjawab:
            “Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas. ” (HR. Ibnu Majah no. 4259, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1384)
Inilah hakikat dari "kecerdasan", yakni menambah keimanan kepada Alloh subhanahu wa ta'ala dan agar kita mempersiapkan bekal menuju akhirat.
Semoga Alloh subhanahu wa ta'ala memberi taufik kepada kita semua....[]

--Bontote'ne, 4 Sya'ban 1435 H

Sumber : https://www.facebook.com/nobaden/posts/10202093897497484

Monday, June 16, 2014

SETIAP ANAK "CERDAS" (MULTIPLE INTELLIGENCES)


Kekeliruan Buku Pendidikan (6): Setiap Anak "Cerdas" (Multiple Intelligences)

     Dalam buku Sekolahnya Manusia, hal. xxii, Munif Chatib berkata, "... saya menjelaskan teori multiple intelligences yang dikembangkan oleh Howard Gardner sebagai landasan teori."
Dalam artikel "Apa Itu Multiple Intelligences (MI)?" dituliskan, "Kecerdasan yang dijelaskan Gardner yaitu:
1. Verbal-linguistik
Berkaitan dengan kata-kata, lisan atau tertulis. Orang-orang yang ahli dalam area ini umumnya bagus dalam menulis, orasi dan cenderung belajar dari metode ceramah. Mereka juga cenderung memiliki kosa kata yang luas serta belajar bahasa dengan mudah.
2. Logis-matematis
Berkaitan dengan angka dan logika.Mereka yang cenderung memiliki kecerdasan ini umumnya unggul dalam matematika dan pemrograman komputer. Karir kemungkinan melibatkan sains dan pemrograman komputer.
3. Visual-spasial
Berkaitan dengan gambar dan ruang. Orang-orang pada kelompok ini umumnya memiliki koordinasi penglihatan yang tinggi, dapat menafsirkan seni dengan baik. Orang orang seperti ini biasanya artis, pekerja tangan dan insinyur.
4. Kinestetik-jasmani
Berkaitan dengan koordinasi otot, gerakan dan melakukan sesuatu. Pada kategori ini, umumnya orang yang mahir dalam olah raga dan tari, bekerja lebih baik ketika bergerak. Sebagai tambahan, mereka belajar lebih baik dengan melakukan sesuatu dan berinteraksi secara fisik. Kebanyakan penari, pesenam dan atlet berada pada kategori ini.
5. Musikal
Berkaitan dengan pendengaran. Mereka yang baik dalam kecerdasan ini cenderung menyanyi dan memiliki pola titinada yang lebih baik, serta lebih menyukai musik. Musik juga membantu mereka yang berada pada kategori ini bekerja lebih baik, selain itu belajar cenderung lebih menyerap jika melalui ceramah.
6. Interpersonal
Berkaitan dengan interaksi dengan yang lain. Orang-orang yang termasuk kategori ini biasanya ekstrovert dan baik dengan orang-orang. Mereka bisa bersifat karismatik, meyakinkan dan diplomatis. Mereka cenderung belajar lebih baik dalam kelompok, misalnya dalam diskusi.
7. Intrapersonal
Berkaitan dengan diri sendiri. Orang- orang yang termasuk kategori ini seringkali introvert dan memiliki filosofi yang sangat rumit. Mereka seringkali berakhir dalam karir keagamaan atau psikologi dan suka menyendiri.
8. Naturalis
Berkaitan dengan alam. Orang-orang pada kategori ini tidak hanya baik dengan kehidupan tapi juga dengan berbagai fungsi dan mekanisme di belakangnya; bahkan kebanyak orang dalam kategori ini mengklaim merasakan kekuatan kehidupan dan energi. Pada area ini biasanya ahli biologi atau lingkungan."
Inilah konsep yang beberapa tahun terahir ini, jagad pendidikan diramaikan oleh teori pendidikan yang mula-mula dicetuskan oleh Howard Gardner. Teori tersebut adalah teori Multiple Intelligences.
Teori ini berpendapat bahwa manusia memiliki kecerdasan majemuk. Kecerdasan-kecerdasn itu antara lain: kecerdasan musikal, kinestetik, logis- matematis, linguistik, spasial, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.

Benarkan demikian?
Kita sebagai seorang muslim, harus mengetahui, Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."  (QS. Al Hujuraat [49]:6 )
Kriteria orang fasik, bisa saja ini seorang muslim, maka beritanya tetap dicek kebenarannya. Apalagi seorang non muslim, maka seharusnya kita lebih komprehensif lagi dalam mengecek kebenarannya.
Kalau begitu, mari kita "kupas" teori ini. Yang mana, kita mengaggap teori ini merupakan "evolusi" dari sistem pendidikan kita selama ini.
Teori ini muncul ada tahun 1965, oleh Howard Gardner. Ia menyatakan bahwa setiap orang memiliki semua komponen (spectrum) kecerdasan, memiliki sejumlah kecerdasan yang tergabung yang kemudian secara personal menggunakannya dalam cara yang khusus. (Teaching and Learning through Multiple Intelligences, Massachusetts: Allyn and bacon, 1996, Hal.XV
Berkata Alamsyah Said, S.Pd., M.Si.,
"... membaca buku “Intelligence Reframed” karya Howard Gardner. Apa yang ada dibenak saya seolah terbukti, bahwa acuan dan landasan pemikiran teori multiple intelligences Howard Gardner mengacu pada teori evolusi Darwin. Acuan ini semakin menguat ketika referensi tokoh yang ditampilkan Gardner berlatar belakang Anglo-Katolik-Yahudi-Ortodoks, Kristen, Hindu dan Atheis."
Astagfirulloh! Ini merupakan ancaman buat kita, bahwa ternyata teori ini dibangun bukan di atas agama Islam, bukan dari al-Qur'an dan as-Sunnah.
Maka betul apa yang sempat dikatakan oleh seorang pendidik,
"Pintu terbesar yang paling mudah dimasuk oleh Yahudi adalah 2. Yaitu dunia psikologi dan dunia pendidikan."
Maka mari kita waspadai teori MI ini.
Buku 'Frames of Mind' yang ditulis Howard Gardner pada 1983 kemudian mengedepankan tujuh representasi mental berlandaskan teori psikologi perkembangan Charles Darwin. Dari tujuh representasi mental tersebut, Gardner memunculkan tujuh klasifikasi “kecerdasan” yang independen dan terbagi. Singkatnya, evolusi adalah password “ilmiah” yang digunakan Howard Gardner dalam penekanan teori multiple intelligences.
Dan jawaban tentang teori evolusi Darwin ini, telah disampaikan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al Utsaimin rahimahullah,
“Ucapan ini tidak benar, bahwa asal muasal manusia adalah monyet (teori evolusi). Dan meyakininya adalah kekafiran karena merupakan tindakan mendustakan Al-Qur`an. Hal itu karena Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa asal penciptaan manusia adalah dari tanah, dengan diciptakannya Adam alaihissalam sebagai nenek moyangnya manusia. Kemudian Allah Ta’ala menjadikan (baca: menciptakan) anak keturunannya (Adam) dari air yang hina (sperma).
Sementara monyet yang kita kenal adalah jenis lain dari makhluk (Allah). Dia adalah makhluk yang diciptakan sudah demikian asalnya, Allah Tabaraka wa Ta’ala menciptakannya dengan sifat seperti itu. Sama seperti keledai, anjing, baghal, kuda, onta, sapi, kambing, rusa, ayam, dan selainnya.
Karenanya tidak boleh ada seorangpun, bahkan tidak boleh bagi negara Islam yang menyandarkan dirinya kepada Islam untuk menjadikan hal ini sebagai kurikulum dalam sekolah-sekolah mereka. Bahkan wajib atas (pemerintah) negara tersebut untuk menghilangkan ilmu ini dari sekolah sekolah mereka. Karena jika siswa tumbuh dengan keyakinan seperti ini sejak kecilnya, maka dia akan sulit untuk terlepas darinya. Bahkan saya menilai tidak bolehnya untuk mengajarkan hal ini di sekolah-sekolah walaupun itu dalam rangka untuk membantah dan menyanggahnya. Akan tetapi ilmu ini dibantah tanpa harus diajarkan di sekolah-sekolah. Karena meletakkan sesuatu lalu berusaha untuk mencabutnya akan menimbulkan mafsadat. Akan tetapi tidak meletakkannya (baca: mengajarkannya) dari awal sama sekali itu lebih baik daripada meletakkannya kemudian baru dicabut (baca: dibantah) dan disanggah.”  [Kaset Nur Ala Ad-Darb no. 55]
Inilah keruntuhan teori Darwin.
Pertanyaannya, mengapa teori multiple intelligences masih bertahan? Alamsyah Said menjawab, "Howard Gardner tidak sendirian, ia mendapat legitimited dari para kolega ilmuwan Anglo-Katolik-Yahudi Ortodoks, Kristen, Hindu dan Atheis memberikan dukungan akademik (intelektual-moralis) terhadap kebenaran teori evolusi Darwin."
Maka dari itu, kita tak boleh latah dengan teori MI (Multiple Intelligences) ini.
Bahkan Adi Guritno berkata dalam artikel 'Kritik Terhadap Teori Multiple Intelligences Howard Gardner',
"Belum ada tes yang mampu mencakup serangkaian instrumen untuk mengukur kecerdasan itu secara absolut."
Coba kita melangkah, lihat kecerdasan musikal, apakah ini dibenarkan dalam Islam? Mungkinkah Alloh menciptakan manusia dengan kecerdasan musikal? Sementara Alloh dan Rosul-Nya mengharamkan musik!
Allah Ta’ala berfirman, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna sehingga dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan.” (QS. Luqman: 6)
Abdullah bin Mas’ud berkata menafsirkan ‘perkataan yang tidak berguna’, “Dia -demi Allah- adalah nyanyian.”
Demikianlah kekeliruan MI ini.
Kalau kita mau jujur secara akademik terhadap fakta-fakta sejarah kehidupan, maka kita akan sepakat, bahwa jauh sebelum legitimasi akademik Howard Gardner, para salaf telah menunjukkan bukti "multiple" kecerdasan. Mari kita tengok Sahabat Rasulullah Muhammad, Salman Al-Farisi rodiyallohu anhu memberikan solusi terhadap problem pengepungan Quraisy dengan pengenalan peta wilayah yang sangat baik. Usamah bin Zaid yang menjadi panglima perang menyerang Romawi di usia 22 tahun. Dan lain sebagainya.
Pertanyaannya adalah, "Apakah dengan kecerdasan itu mereka diciptakan?"
Bukan!
Cobalah kita membuka lembaran lembaran Al Qur’an dan kita jumpai pada surat Adz Dzariyat ayat 56. Di sana, Allah Ta’ala berfirman,           “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. ” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Abdurrahman As Sa’di dalam tafsir beliau mengatakan, “Inilah tujuan Allah menciptakan jin dan manusia dan Allah mengutus seluruh para rasul untuk menyeru menuju tujuan ini yaitu ibadah yang mencakup di dalamnya pengetahuan tentang Allah dan mencintai-Nya, bertaubat kepada-Nya, menghadap dengan segala yang dimilikinya kepada Nya dan berpaling dari selain-Nya.”
Dari sini, kita katakan bahwa orang-orang yang diberikan kecerdasan senantiasa mengalokasikannya untuk peribadahan kepada Alloh semata. Bertauhid! Jauh dari syirik! Sehingga hidup dan matinya hanya untuk Alloh subhanahu wa ta'ala.
Shahabat yang mulia, putra dari shahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan,
“Aku sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata,
‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’
Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka. ’
‘Mukmin manakah yang paling cerdas?’, tanya lelaki itu lagi.
Beliau menjawab:
“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas. ” (HR. Ibnu Majah no. 4259, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1384)
Inilah hakikat dari "kecerdasan", yakni menambah keimanan kepada Alloh subhanahu wa ta'ala dan agar kita mempersiapkan bekal menuju akhirat.
Semoga Alloh subhanahu wa ta'ala memberi taufik kepada kita semua....[]

--Bontote'ne, 4 Sya'ban 1435 H

https://www.facebook.com/nobaden/posts/10202093897497484