Monday, December 10, 2012

Wasiat – Wasiat Kenabian Yang Penting Bagi Anak

Wajib bagi atas pembimbing bagi laki – laki maupun perempuan sama saja apakah sebagai guru, pengajar, bapak ataupun ibu untuk mengajarkan kepada anak-anak wasiat-wasiat untuk bermanfaat bagi mereka, kemudian menerangkan wasiat – wasiat tersebut kepada mereka. Sungguh telah datang hadist yang shahih:

Dari ibnu ‘Abbas dia berkata : Pernah pada suatu hari saya berada di belakang Nabi maka beliau bersabda kepada saya : “ Wahai anak muda, sesungguhnya saya akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat :

1. “Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu.”
Yaitu laksanakan perintah – perintahnya Allah dan jauhilah larangan – larangan Nya , Allah pasti akan menjagamu di dunia dan akheratmu.

2. “Jagalah Allah kamu akan mendapati Allah di hadapanmu”.
Yaitu di depanmu. Jagalah batasan – batasan Allah (syariat Allah) dan perhatikan hak-hakNya niscaya kamu akan dapati Allah memberikan taufik kepadamu dan menolongmu.

3. “ Apabila kamu meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan apabila kamu memohon pertolongan, mohonlah kedapa Allah”.
Yaitu apabila kamu meminta pertolongan terhadap perkara dari perkara – perkara dunia dan akherat maka mintalah pertolongan dari kepada Allah.

4. “ Ketahuilah bahwasanya seandainya umat ini bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak akan mampu memberikan manfaat kepadamu kecuai dengan sesuatu yang Allah takdirkan kepadamu, dan apabila mereka bersatu memberikan mudharat kepadamu dengan sesuatu, mereka tidak akan mampu memberikan mudarat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang Allah tuliskan kepadamu. Pena – pena telah diangakat dan lembaran – lemabaran (takdir –pent) telah keting

[ diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan ia berkata : hadist hasan shahih]

Faedah – faedah hadist :
1. Kecintaan Rasulullah kepada anak – anak dan membocengkan Ibnu ‘Abbas di belakang beliau serta penggilan beliau kepada anaknya dengan ‘wahai anak muda’.
2. Memerintahkan anak – anak dengan ketaatan kepada Allah dan menjahui kemaksiatan kepadaNya agar mereka bahagia dunia dan akherat.
3. Allah akan menyelamatkan seoarang muslim ketika dalam kesempitan apabila melaksanakan hak Allah, dan manusia ketika itu dalam keadaan lapang, sehat dan kaya.
4. Penanaman aqidah tauhid pada jiwa – jiwa anak dengan hanya meminta kepada Allah dan meminta pertolongan kepadaNya.
4. Pengokohan aqidah keimanan dengna takdir yang baik atau yang buruk, kerana hal itu termasuk rukun niman.
5. Mendidik anak untuk berharap dengan harapan yang baik/optimis, untuk mengahadapi hidup dengan keberanian dan cita – cita agar menjadi indivdu yang bermanfaat bagi ummatnya.
sumber :
http://www.salafy.or.id/wasiat-wasiat-kenabian-yang-penting-bagi-anak/

Berkeluh Kesahlah Hanya Kepada Alloh

Fenomena yang sering terjadi adalah banyak orang yang mengeluhkan problemnya kepada orang lain…bahkan terkadang keluhan tersebut mereka cantumkan dalam status facebook mereka, atau Blackberry atau Twitter, mereka terkadang melakukan demikian karena mengharapkan belas kasih dari sahabat-sahabat mereka yang membaca status mereka tersebut.
Mereka mengeluhkan kondisi mereka, kemiskinan mereka, kesulitan yang mereka hadapi kepada orang lain. Bahkan diantara mereka tidak jarang yang mengeluh sambil menunjukkan “nada protes” dengan keputusan Allah yang Allah taqdirkan kepadanya.
Seorang salaf tatkala melihat ada seseorang yang mengeluhkan kondisinya kepada orang lain maka ia berkata :

وَإِذَا شَكَوْتَ إِلَى ابْنِ آدَمَ إِنَّمَا ... تَشْكُو الرَّحِيْمَ إِلَى الَّذِي لاَ يَرْحَمُ
Jika engkau mengeluhkan (kondisimu) kepada anak Adam maka sesungguhnya…
Engkau sedang mengeluhkan Allah Yang Maha Penyayang kepada anak Adam yang bukan penyayang…

Marootib (tingkatan-tingkatan) Keluhan

Sesungguhnya mengeluh ada tiga tingkatan:
Pertama : Seseorang mengeluh kepada Allah tentang dirinya sendiri. Ia merasa bahwa segala kondisi buruk yang menimpanya adalah karena dirinya sendiri, seraya mengingat firman Allah :

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS Asy-Syuuroo : 30)

وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
"Dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri" (QS An-Nisaa' : 79)

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ
"Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". (QS Aali 'Imroon : 165)
Ini adalah keluhan yang terbaik, yang muncul dari seseorang yang mengenal hakikat dirinya dan mengakui keagungan dan keadilan Allah.

Kedua : Seseorang mengeluh kepada Allah tentang kondisi orang lain, atau tentang sikap buruk orang lain kepadanya. Ini adalah bentuk keluhan yang tengah.

Ketiga : Seseorang yang mengeluhkan kepada orang lain (makhluk) tentang keputusan Allah. Dan ini merupakan bentuk keluhan yang terburuk. (Lihat Al-Fawaaid li Ibnil Qoyyim hal 87-89)

Mengeluh Kepada Allah Meskipun Pada Perkara Yang Dianggap Sepele

Allah adalah Pencipta yang suka jika hambaNya mengeluh dengan berdoa kepadanya seraya menunjukkan kelemahan, kehinaan, dan ketidak mampuan sang hamba di hadapanNya.
Allah berfirman :

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
"Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan" (QS An-Naml : 62)

اللهَ يَغْضَبُ إِنْ تَرَكْتَ سُؤَالَهُ ... وَبَنِي آدَمَ حِيْنَ يُسْأَلُ يَغْضَبُ
"Allah marah jika engkau tidak meminta kepadaNya…dan anak Adam jika engkau meminta kepadanya iapun marah"
Seseorang disukai untuk mengeluhkan segala keluh kesahnya, bahkan dalam hal-hal yang menurutnya sepele.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لِيَسْأَلَ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى يَسْأَلَهُ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ
"Hendaknya salah seorang dari kalian meminta kepada Robnya seluruh kebutuhannya (hajatnya) bahkan sampai untuk memperbaiki tali sandalnya jika terputus" (HR At-Thirmidzi, dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Misykaat no 2251, akan tetapi dalam sanad hadits ini ada pembicaraan, sehingga Al-Albani berubah pendapatnya dan melemahkannya di Ad-Do'iffah no 1362. Namun makna hadits ini tentu benar tanpa diragukan lagi, karena berdo'a adalah ibadah, dan seorang hamba disukai berdoa kepada Allah dalam segala hal dan kondisi)

Allah berfirman mengisahkan tentang permohonan Nabi Musa 'alaihis salam yang kelaparan:

وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلْقَاءَ مَدْيَنَ قَالَ عَسَى رَبِّي أَنْ يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ (٢٢)وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ (٢٣)فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
"Dan tatkala Nabi Musa menghadap kejurusan negeri Mad-yan ia berdoa (lagi): "Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar". Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya". Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian Dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: "Ya Tuhanku Sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku". (QS Al-Qoshos : 22-24)

Ibnu Abbaas radhiallahu 'anhumaa berkata :
سَارَ مُوْسَى مِنْ مِصْرَ إِلَى مَدْيَنَ، لَيْسَ لَهُ طَعَامٌ إِلاَّ الْبَقْلَ وَوَرَقَ الشَّجَرِ، وَكَانَ حَافِيًا فَمَا وَصَلَ مَدْيَنَ حَتَّى سَقَطَتْ نَعْلُ قَدَمِهِ. وَجَلَسَ فِي الظَّلِّ وَهُوَ صَفْوَةُ اللهِ مِنْ خَلْقِهِ، وَإِنَّ بَطْنَهُ لاَصِقٌ بِظَهْرِهِ مِن الْجُوْعِ...وَإِنَّهُ لَمُحْتَاجٌ إِلَى شَقِّ تَمْرَةٍ
"Nabi Musa berjalan dari negeri Mesir menuju negeri Madyan, ia tidak memiliki makanan kecuali mentimun dan daun-daun pohon. Ia tidak memakai alas kaki, karena tatkala sampai di negeri Madyan sendalnya putus. Lalu ia duduk dibawah rindangan pohon –padahal ia adalah orang yang dipilih Allah- dan perutnya telah menempel dengan punggungnya karena saking laparnya,... Dan sesungguhnya ia sangat membutuhkan sepenggal butir kurma" (Tafsir Ibnu Katsir 6/227)

Lihatlah Nabi Musa 'alaihis salam dengan tanpa ragu-ragu memohon dan berdoa kepada Allah karena kelaparan. Bukankah dalam hadits qudsi Allah berfirman :

يَا عِبَادِي! كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ؛ فَاسْتَطْعِمُوْنِي أُطْعِمْكُمْ.
"Wahai hamba-hambaKu, kalian seluruhnya lapar kecuali yang Aku berikan makanan kepadanya, maka mintalah makanan kepadaku niscaya Aku akan berikan kepada kalian." (HR Muslim no 2577)

Seseorang hendaknya tidak ragu-ragu untuk menunjukkan kebutuhannya dan kehinaannya kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai hal tersebut nampak pada hamba-hambaNya.

As-Syaikh As-Si'di berkata ;
استِحْبَابُ الدُّعَاءِ بِتَبْيِيْنِ الْحَالِ وَشَرْحِهَا، وَلَوْ كَانَ اللّهُ عَالِمًا لَهَا، لِأَنَّهُ تَعَالَى، يُحِبُّ تَضَرُّعَ عَبْدِهِ وَإِظْهَارَ ذُلِّهِ وَمَسْكَنَتِهِ
"Disunnahkan berdoa dengan menjelaskan kondisi kesulitan yang dihadapi, meskipun Allah mengetahui kondisi tersebut, karena Allah ta'aala menyukai perendahan hamba dan sang hamba yang menunjukkan kehinaan dan kelemahannya." (Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan hal 618)

Mengeluh Kepada Allah Sunnah Para Nabi

Karenanya berdoa dengan menunjukkan kehinaan dan kerendahan merupakan sunnah para nabi, dan hal ini sama sekali tidak mengurangi kesabaran mereka.

Allah berfirman
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang". (QS Al-Anbiyaa' : 83)

Lihatlah Nabi Ayyub 'alaihis salaam mengeluhkan kondisinya kepada Allah, akan tetapi hal ini sama sekali tidak mengurangi kesabaran. Justru inilah yang disukai oleh Allah, tatkala seseorang menampakkan kekurangan dan kebutuhannya kepada Allah. Karenanya Allah berkata tentang Ayyub :
إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
"Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah Sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia Amat taat (kepada Tuhan-nya)" (QS Shood : 44)

Allah juga berfirman tentang Nabi Ya'quub 'alaihis salaam;
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya." (QS Yuusuf : 86)

Dan Allah telah menyebutkan tentang janji Ya'quub untuk menjadi orang yang sabar,
وَجَاءُوا عَلَى قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ
Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya'qub berkata: "Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." (QS Yuusuf : 18)

Allah juga berfirman:
قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَنِي بِهِمْ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Ya'qub berkata: "Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana" (QS Yuusuf : 83)

Mengeluh yang tercela adalah keluhan yang menunjukkan protes atau rasa marah terhadap taqdir Allah. Adapun mengeluh kepada Allah dengan menunjukkan kelemahan dan kehinaan serta ketidakmampuan dalam rangka untuk meminta pertolongan Allah, maka inilah yang disukai oleh Allah dan terpuji. Bahkan Allah menguji para hamba-Nya agar terdengar keluhan mereka, doa, dan permohonan mereka kepada-Nya. Dan Allah tidak suka dengan sikap mereka yang sok tegar dan tidak mau mengeluhkan keluhan mereka kepada Allah. (Lihat penjelasan Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Ar-Ruuh hal 259)


Rahasia Mustajabnya Berdoa Tatkala Sujud

Semakin seorang hamba menunjukkan kehinaan dan kerendahannya maka semakin disukai oleh Allah.
Inilah rahasia kenapa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
"Kondisi hamba paling dekat dengan Robbnya adalah tatkala ia sedang sujud, maka perbanyaklah doa" (HR Muslim no 482)

Juga sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam :
فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوا فِيْهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
"Adapun ruku' maka agungkanlah Allah padanya, dan adapun sujud maka bersungguh-sungguhlah tatkala berdoa, karena lebih mustajab dikabulkan bagi kalian" (HR Muslim no 479)

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata tentang kondisi ruku' dalam sholat,
"Maka iapun menyambut keagungan Allah dengan kehinaan dan ketundukan serta kerendahan. Ia telah menundukkan kepalanya dengan penuh ketenangan, ia bungkukkan punggungnya, dan Robbnya di atasnya melihat kerendahan dan kehinaannya serta mendengarkan pembicaraannya. Maka ruku' merupakan rukun sholat dalam pengagungan Allah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

أَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوا فِيْهِ الرَّبَّ
"Adapun ruku' maka agungkanlah Allah padanya !!"
Lalu setelah itu iapun bangkit berdiri seraya memuji Robnya dengan pujian-pujian yang sempurna dan terluas, bahwasanya Allah memang adalah Dzat yang berhak untuk dipuji…lalu iapun bertakbir dan tersungkur sujud dengan mesujudkan bagian tubuhnya yang paling mulia yaitu wajahnya, maka iapun menyungkurkan wajahnya ke tanah dengan penuh kehinaan dan kerendahan di hadapan Allah. Sungguh seluruh tubuhnya memosisikan dan mengambil bagian dari kehinaan dan kerendahan. Bahkan sampai-sampai ruas-ruas dan ujung-ujung jarinya juga mengambil bagian kehinaan dan kerendahannya… dan disukai jika ia menekankan jidatnya ke pasir sehingga terdorong ke arah depan sehingga jadilah kepalanya menjadi yang paling rendah dari bagian tubuh yang lain sebagai bentuk kesempurnaan dalam penghinaan dan perendahan diri di hadapan Dzat yang memiliki seluruh keperkasaan dan keagungan. Ini adalah perkara yang sangat ringan yang merupakan hak Allah yang harus ditunaikan oleh hambaNya. Kalau seandainya sang hamba terus sujud semenjak ia diciptakan hingga ia meninggal maka ia tidak akan mampu untuk menunaikan hak Robbnya !!!.

Setelah itu iapun diperintahkan untuk mengucapkan سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى "Maha suci Allah Yang Maha Tinggi", maka iapun mengingat ketinggian Allah dalam kondisi ia paling rendah, serta ia mensucikan Allah dari kondisi semisal kondisinya (dari segala kerendahan). Dzat yang di atas segala sesuatu dan lebih tinggi di atas segalanya disucikan dari segala bentuk dan makna kerendahan, karena Dialah Yang Maha Tinggi dengan meliputi seluruh makna tinggi. Dan tatkala ini (sujud) merupakan puncak kerendahan dan kehinaan seorang hamba maka jadilah Allah paling dekat dengan hamba-Nya tatkala dalam kondisi ini, dan jadilah ia diperintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa karena kedekatannya dengan Allah Yang Maha Dekat dan Maha Mengabulkan Doa. Allah telah berfirman ;
وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ
"Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)" (QS Al-'Alaq : 19).
Dan ruku' seakan-akan merupakan muqoddimah (pembuka) dan pendahuluan sebelum sujud, maka ia (orang yang sholat) pun berpindah dari kerendahan (tatkala ruku') kepada kerendahan dan kehinaan yang lebih sempurna dan lebih tinggi derajatnya (yaitu tatkala sujud). Dan antara ruku' dan sujud dipisahkan dengan suatu rukun (yaitu i'tidal) yang seorang hamba bersungguh-sungguh dalam memuji, menyanjung, serta mengagungkan Allah. Dan ia menjadikan sebelumnya (sebelum i'tidal) kerendahan (ruku') dan setelah i'tidal kerendahan yang lain (yaitu sujud), dan ia menjadikan kerendahan sujud setelah pujian, sanjungan, dan pengagungan (yang diucapkan tatkala i'tidal-pen)…
Perhatikanlah urutan/tertib yang menakjubkan ini, perpindahan-perpindahan posisi dalam kondisi-kondisi penyembahan?...
Dan tatkala kondisi beribadah yang terbaik dalam sholat adalah sujud maka disyari'atkan untuk diulang, dan dijadikan sujud sebagai penutup raka'at sholat yang dibuka dengan bacaan al-Qur'an, dan merupakan kesesuaian dengan surat Al-'Alaq yang dibuka dengan perintah membaca al-Qur'an dan ditutup dengan perintah untuk sujud…" (Syifaa al-'Aliil 228-229)
Al Madinah Al Nabawiyah, 17-01-1434 H / 01 Desember 2012 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
sumber :
http://www.firanda.com/index.php/artikel/wejangan/346-berkeluh-kesahlah-hanya-kepada-allah

Tuesday, December 4, 2012

Mimpi Indah

Gelap mulai merayap dikesunyian malam.
Seperti biasa aku mulai berbenah untuk segera istirahatkan badan ini.
Setelah sebelumnya aku berbincang dan bercengkrama bersama anak istriku.
Muazzam, nama anakku, dia baru berusia 4 tahun lebih, setelah seharian dia beraktifitas.
Alhamdulillah, dia begitu tertarik kepada setiap hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan/sains.
Terutama kesukaan favoritnya tentang Alam Raya, benda-benda angkasa, tatasurya, planet-planet dan bintang-bintang.
Tiada hari yang dia lewati tanpa menyebutkan hal-hal tersebut. Sampai-sampai semua nama planet dan nama bintang-bintang dia hapal. Subhanallah, kami begitu takjub kepada kuasa ALLOH yang telah memberikan kemampuan kepada anak kami.
Saat ini dia sudah bisa baca dan tulis dengan lancar, dan IQRO nya baru sampai Iqro 4, dan alhamdulillah dia sudah hapal beberapa surat-surat pendek.
Terkadang kami suka kewalahan bila menerima pertanyaan-pertanyaannya yang tidak lazim untuk anak seusianya.
Tapi semua ini membuat kami lebih bersyukur dan lebih merasa tiada daya dihadapan Yang Maha Segalanya.
Saat sebelum beranjak tidur, dia selalu melafalkan ulang hapalan surat-suratnya, setelah selesai dia pun selalu meminta

maaf atas segala sikapnya sehari ini dan meminta dido'akan, dan kamipun berbuat sama, saling meminta maaf dan saling mendo'akan. Lalu ibunya pun menutup pembicaraan dengan kata "Tidur ya, semoga Mimpi Indah ya" lalu berdo'a.

Sesaat pikiranku tiba-tiba melayang, "Mimpi Indah", kata-kata itu membuat perasaanku menjadi gundah.
Mimpi seperti apakah yang indah itu ?

bilakah aku dapatkan mimpi indah malam ini
mimpikan bertemu seseorang yang begitu kuharapkan
mimpi bertemu seorang kekasih yang mulia
kekasih ALLOH, nabi Muhammad Rasulullah
sungguh indah terasa bila mimpi itu datang

namun ... apakah aku layak tuk dapat mimpi indah itu
sedangkan keseharianku masih terasa jauh ...
jauh dari panduan yang telah kau sunnah kan
sunnah mu sunnah Rasul yang kini sudah mulai terasa asing

ya ALLOH hujamkanlah ke dalam dada kami petunju-MU selalu
agar kami dapat selalu hidup sesuai jalan-MU dan jalan kekasih-MU
masukan aku, keluargaku, dan kaum muslimin ke dalam golongan itu
golongan yang akan sampai ke telaga kekasih-Mu
dan dia tiada mengusir kami dari telaganya itu

 بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ أَمُوتُ وَأَحْيَ
Bismika allahumma amuutu wa ahya
Dengan nama-Mu, Ya Allah aku mati dan aku hidup

Wednesday, September 26, 2012

CURHAT USTADZ



Sebelumnya penulis memohon maaf dalam penulisan artikel ini, digunakan bahasa yang tidak baku (sesuai EYD) tapi sedikit santai.
Di saat ini orang bilang jaman sekarang sudah jaman edan. Banyak hal-al yang dulunya tidak mungkin sekarang menjadi mungkin. Dengan berkembangnya dunia informasi segala hal akan dengan mudah untuk diketahui. 
Meskipun secara hakikatnya kita tidak boleh mencaci waktu, karena waktu berjalan sudah sesuai dengan ketetapan yang ALLOH tentukan, mencacinya berarti telah mencaci yang memilikinya. 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ بِيَدِي الْأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Dari Abu Hurairah berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah Ta'ala berfirman: 'Anak adam menyakiti-Ku dan mencela masa, padahal Aku adalah masa, di tangan-Ku lah segala urusan, Akulah yang membolak-balikkan siang dan malam'."

Tapi itulah kenyataan sekarang bila melihat situasi dan kondisi memang sudah begitu kacau. Bencana, huru-hara, kasuskkasus kriminal, aliran sesat, teroris, kekacauan di jalur birokrasi kepemerintahan yang tiada ujungnya, dunia kependidikan, lapangan pekerjaan, perekonomian, dan banyak lagi yang bila ditulis daftarnya mungkin akan begitu banyak dan panjang. Semua merasa bingung bagaimana menghadapinya sehingga yang timbul kebanyakan bukan mencari solusi penyelesaian tapi malah mencari hal yang menyebabkannya dan ujung-ujungnya saling tuduh dan menyalahkan.
Lalu bagaimana Islam menyikapinya ? Sebenarnya semua permasalahan ini hanya bisa dikembalikan pada Islam saja. Saat ini kebanyakan manusia sudah meninggalkan sisi keagamaannya karena sudah begitu disibukkan dengan urusan-urusan keduniaan yang dijadikan harga mati untuk mencapai kebahagiaannya. 

Saya kira cukuplah awal pembicaraan masalah di atas sampai di sini, nanti malah jadi melebar dan tidak fokus dengan yang akan saya tulis. Inti dari tulisan ini hanya akan membahas pada struktur terkecil dari semua pokok permasalahan di atas, yaitu "keluarga".

Suatu hari saat saya sedang bersama teman kerja saya, dia itu mempunyai aktifitas lain selain bekerja, dia dan istrinya mempunyai beberapa jenis usaha, salah satunya grosir semisal sembako, selain itu dia juga sebagai pengajar Tahsin, dan kegiatan keagamaan lainnya sebagai pemateri. Dan dia juga mengisi sebuah pengajian rutin di tempat kerja kami.

Saya begitu kagum pada teman saya ini, dia begitu mampu membagi waktunya dalam semua kesibukannya. Pada awalnya dia menimba ilmu Islam ke sana kemari, ditemuinya banyak guru, dia jadi santri yang tidak mukim dan tidak terikat. Namun subhanallah, karena ALLOH mengkarunikan kecerdasan kepadanya, dia bisa melaluinya dengan baik, dan saat ini di sudah terjun di dunia dakwah sebagai pengaplikasian dari ilmu yang dia dapat, meskipun tetap dia ikut majelis guru-gurunya. Sebenarnya saya juga awalnya seperti dia, mungkin bisa dikatakan lebih dulu dari dia, tapi ternyata saya belum bisa mengambil hasil dari semua itu, mungkin karena taraf kecerdasan saya yang minim, tekad saya yang tidak kuat, dan lain sebabnya yang menjadikan saya sebagai orang awam saja.

Di setiap waktu luang, di sela-ela kami bekerja, sering terlibat banyak pembicaraan, baik itu tentang bisnis, kegiatannya, dan sebagainya, termasuk kegiatan pengajian rutin yang kami adakan di tempat kerja kami.
Dia berkata bahwa sekarang ini tantangan dakwah itu begitu banyak dan berat. Faktor utama yang sering dan banyak terjadi permasalahan ialah terjadi di keluarga-keluarga muslimin. 
Dia banyak mendapatkan banyak keluhan dan konsultasi / curhat- urhat dari para mustami dari setiap majelis ilmu yang dia terjuni. Dan hampir semuanya berkenaan dengan keluarga. Baik itu suami, istri, atau anak-anak. Semakin banyak ilmu yang dipahami semakin berat ujian yang dihadapi.

Dan memang ternyata fenomena saat ini, dari setiap kegiatan majelis taklim itu kebanyakan yang hadir ialah akhwat. Lalu ke mana para ikhwannya ? Sehingga kebanyakan dari persoalan-persoalan yang diterima para ustadz itu, ya dari para ibu-ibu yang curhat.
Dan mungkin sudah menjadi kebiasaan bahwa para ustadz itu selalu menjadi tempat curhatnya para ibu-ibu. Yang memang bila kita perhatikan justru malah bisa menimbulkan hal yang tidak diharapkan.
Di saat ustadz menjadi idola, sehingga sampai dianggap penyelesai segala masalah. Padahal ustadz juga manusia. 

Seperti yang teman saya alami, begitu banyak permasalahan yang dia terima dari mustami nya dari golongan akhwat. Meskipun sudah sering dia katakan bahwa tempat sebaik-baiknya untuk curhat hanyalah pada ALLOH saja, dan hal yang tidak baik bila seorang ustadz laki-laki menerima curhatan dari lawan jenis, dikhawatirkan terjadi fitnah.
Disamping itu tidak dibenarkan apabila laki-laki dan perempuan bukan mahram untuk berbicara baik secara langsung, melalui telepon, atau sms. Siapapun itu meskipun bergelar ustadz, meskipun dengan dalih bisa menjaga perasaan atau hawa nafsu. Tetapi lebih aman tidak, syetan selalu mencari celah dan cara untuk menjerumuskan.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mulah kami menyembah, dan hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan” (QS. Al Fatihah 5).

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenteram” (Qs Ar-Ra’du 28).

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Dan memang begitulah keadaan saat ini, syetan begitu gencar pula menebar tipu dayanya. Contohnya bila sebuah majelis ilmu, yang dilihat itu bukan isi keilmuan yang didalami, tapi malah sosok penyampainya (ustadz) yang menjadi patokan maka jangan harap ilmu itu akan sampai ke hati. Karena sosok pribadi yang utama yang jadi patokan, banyak menimbulkan efek yang negatif, seperti bila bukan oleh ustadz fulan maka jadi malas ikut taklimnya, ada yang menjadi pengagum berat sehingga menjadi idola dan dikultuskan, ada yang menjadi begitu simpatik yang bila dari lawan jenis menjadi menyukainya. Majelis taklim bubar karena ustadnya menikah lagi, ustadz saya yang paling benar, akhwat ingin menikah dengan ustadznya, ustadz terlalu "gaul", dsb. Banyak hal yang bisa terjadi bila segala sesuatu itu tidak pada tempatnya.

Begitupun teman saya, begitu banyak yang berkonsulatasi. Dan ternyata dari kebanyakan masalah itu berkenaan dengan hubungan suami istri, yang mana terjadi ketidak harmonisan dalam berumahtangga, yang dikarenakan oleh permasalahan yang ada dari kedua belah pihak, yang utamanya permasalahan datang dari suami. Dan ini merupakan permasalahan umum yang banyak dijumpai para pendakwah.
Ada yang tidak peduli, ada yang berselingkuh, berzina, menikah lagi diam-diam, perceraian, warisan, dan lain sebagainya. Pada umunya yang terjadi ialah perselingkuhan (istilah umumnya). 

Bila diteliti dari kebanyakan kasus tersebut ternyata kebanyakan para suami tersebut jauh dari kegiatan keagamaan, minimal ikut majelis taklim mingguan.
Sehingga kekurangan keilmuan agama seorang suami itu sangat berpengaruh pada pola kehidupannya termasuk kehidupan rumah tangganya. Makanya kenapa setiap majelis taklim itu sangat penuh oleh para ibu, lalu para bapaknya pada kemana ?
Oleh karena itu, inilah yang bisa menyebabkan timbulnya banyak permasalahan di rumahtangga, ketidakseimbangan antara masalah dan solusi.
Minimnya pemahaman keilmuan agama menyebabkan ketidaktepatan dalam setiap solusi yang diambil, dalam segala hal termasuk dalam menghadapi problem rumahtangga.
Belum lagi gelombang informasi dari dunia luar Islam yang begitu deras hampir setiap saat yang lebih dominan efek negatifnya yang banyak diterima, karena minimnya proteksi keimanan. 

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat". [An Nur : 19].

Terutama serangan pornogafi yang sulit untuk dibendung. Setiap orang bisa dengan begitu mudahnya mengakses dan mendapatkannya, apalagi didukung oleh teknologi yang begitu memudahkannya.
Seperti contoh salah satu kasus perselingkuhan/perzinahan seorang suami, ternyata pada umumnya kasus banyak didapati para suami yang bermasalah tersebut telah begitu akrab dengan pornogafi ini, baik dari gadgetnya (hp, ipad, dll), komputer, majalah yang dikonsumsinya, banyak ditemukan hal-hal tentang pornografi baik itu berupa gambar atau film. Sehingga akan dengan mudahnya para suami terjerumus ke dalam lubang kemaksiatan dikarenakan tipisnya ilmu dan keimanannya. 
Namun semua hal ini bukan berarti semua permasalahan hanya timbul dari kaum laki-laki saja dari kaum perempuanpun banyak, tetapi dalam artikel ini yang sangat ditekankan dari sisi kaum laki-lakinya, karena para suami merupakan seorang pemimpin dari keluarganya, pemimpinnya baik maka insyaALLOH yang dipimpinnya akan baik juga. Suami itu bertanggunghawab dan penentu keluarganya dan generasinya apakah akan masuk ke surga atau neraka.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ 
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka". [An-Nisâ`:34]. 

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَ الأَمِيْرُ رَاعٍ وَ الرِّجَالُ رَاعٍ عَلى أَهْلِ بَيْتِهِ وَ المَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ على بَيْتِ زَوْجِهَا
"Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya dan imam adalan pemimpin, dan orang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan wanita adalah penanggung jawab atas rumah suami dan anaknya. Dan setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya". [HR Bukhari].

Begitu getirnya bila kita renungi, sesak rasanya dada memperhatikan semua ini, yang saya lakukan hanya memohon dengan sebenar benarnya semoga ALLOH melindungi diri saya, keluarga saya dan keluarga kaum muslimin dari semua fitnah ini.

Bagaimana akan maju dan berkah suatu bangsa bila dari yang terkecilnya, keluarga, sudah banyak yang hancur. Bagaimana akan tercipta generasi penerus yang kuat dan beriman bila para ayahnya secara rohani sudah rusak. Naudzubillah tsumma naudzubillah.

Mari kita renungi, mengapa negri ini begitu banyak masalah yang dihadapi, yang bila disebutkan tidak akan selesai-selesai. Begitu sering ALLOH turunkan bencana. Mungkin karena diri-diri kita ini sudah jauh dari Islam sebagai panduan dan pedoman hidup ini.

"Artinya : Hai orang-orang Muhajirin; lima perkara, jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku mohon perlindungan kepada Alloh agar kamu tidak mendapatkannya :
- Tidaklah muncul perbuatan keji (seperti: bakhil, zina, minum khomr, judi, merampok dan lainnya) pada suatu masyarakat, sehingga mereka melakukannya dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang sebelum mereka. 
- Orang-orang tidak menahan zakat hartanya, kecuali hujan dari langit juga akan ditahan dari mereka. Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan. 
- Tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan kezholiman pemerintah, kehidupan yang susah, dan paceklik. 
Dan selama pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak menghukumi dengan kitab Alloh, dan memilih-milih sebagian apa yang Alloh turunkan, kecuali Alloh menjadikan permusuhan yang keras di antara mereka. [HR Ibnu Majah no. 4019, al Bazzar, al Baihaqi; dari Ibnu 'Umar. Dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam ash-Shohihah no. 106, Shohih at-Targhib wat-Tarhib no. 764, Maktabah al Ma’arif][dari almanhaj.or.id]

Marilah kita semua mencoba memulai dari diri pribadi masing-masing untuk lebih merapatkan pemahaman kita kepada ilmu Islam yang haq. Mendalami Al Quran setiap saat, minimal membacanya. Mari kita mulai mengamalkan sedikit demi sedikit sunnah-sunnah yang Rasul dengan pemahaman keilmuan yang benar. 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu: ‘Berilah kelapangan dalam majelis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-Mujaadilah : 11]

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الأرْضِ أَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ
"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Seusngguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan". [Al Hajj : 40-41]

Semoga ALLOH menjadikan generasi kita sebagai generasi penegak syari'at ALLOH. Amin. Mohon maaf bila ada tulisan yang tidak berkenan dan tidak pada tempatnya. Wallahu'alam. [Abu Muazzam]

Monday, August 6, 2012

SEJARAH & SYARIAH ZAKAT FITRAH


oleh Amin Saefullah Muchtar

Selama 13 tahun hidup di Mekah sebelum hijrah, Nabi Muhamad telah 13 kali mengalami Ramadhan, yaitu dimulai dari Ramadhan tahun ke-41 kelahiran Nabi yang bertepatan bulan Agustus 610 M, hingga Ramadhan tahun ke-53 dari kelahirannya yang bertepatan dengan bulan April tahun 622 M. Namun selama waktu itu belum disyariatkan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah bagi kaum muslimin, dan demikian pula dengan syariat Iedul fitrinya.
Setelah Nabi hijrah ke Madinah, dan menetap selama 17 bulan di sana, maka turunlah ayat 183-184 al-Baqarah pada bulan Sya’ban tahun ke-2 H, sebagai dasar disyariatkannya shaum bulan Ramadhan. Tak lama setelah itu, dalam bulan Ramadhan tahun itu pula mulai diwajibkan zakat kepada kaum muslimin. (Lihat, Tawdhiih Al-Ahkaam Syarh Bulugh Al-Maraam, III:371) Zakat ini kemudian populer di kalangan kita dengan sebutan zakat fitrah atau zakat fitri.

Sehubungan dengan kewajiban itu, Ibnu Umar menjelaskan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan atas orang-orang sebesar 1 sha’ kurma, atau 1 sha’ gandum, wajib atas orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, dari kaum muslimin.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadis 984, Malik, Al-Muwatha, I:284, No. hadis 626, An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:25, No. 2282, Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Alas Shahihain, I:569, No. hadis 1494, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:161, No. hadis 7476, IV:166, No. hadis 7492; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:83, No. hadis 2399, Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, VIII: 94, No. hadis 3301)
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari (Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadis 1433), Ahmad (Musnad Ahmad, II:137, No. hadis 6214), Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, II:112, No. hadis 1611), dan At-Tirmidzi (Sunan At-Tirmidzi, III:61, No. hadis 676) dengan sedikit perbedaan redaksi.

Pengertian Zakat Fitrah atau Fitri

A.Pengertian Zakat 
Zakat berasal dari kata zakaa yang berarti suci, baik, berkah, tumbuh, atau berkembang. Kata itu mengacu pada kesucian diri yang diperoleh setelah pembayaran zakat dilaksanakan. Itulah kebaikan hati yang dimiliki seseorang manakala ia tidak bersifat kikir dan tidak mencintai harta kekayaannya semata-mata demi harta itu sendiri.
Sedangkan secara istilah para ulama fikih telah menjelaskan pengertian zakat sebagai berikut:
الزَّكَاةُ هِيَ إِعْطَاءُ جُزْءٍ مَخْصُوْصٍ مِنْ مَالٍ مَخْصُوْصٍ بِوَضْعٍ مَخْصُوْصٍ لِمُسْتَحِقِّهِ
“Zakat adalah mengeluarkan bagian yang khusus dari harta yang khusus dengan ketentuan yang khusus bagi mustahiqnya”.
Dengan perkataan lain, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah swt. untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula. Firman Allah Swt.:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." QS. At-Taubah:103
Maksud zakat membersihkan itu adalah membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda.  Sedangkan maksud zakat menyucikan itu adalah menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan mengembangkan harta benda mereka.

B. Pengertian Fitrah atau Fitri
Meski di dalam hadis-hadis Nabi Saw. penyebutan zakat ini lebih populer dengan istilah zakat fitri, namun terkadang digunakan pula istilah zakat fitrah, dan barangkali sebutan ini yang lebih populer di kalangan kita. Untuk mempertegas peristilahan itu barangkali penting pula untuk dianalisa latar belakang pembentukannya.
(a) Zakat Fitrah 
Dalam Alquran kata fitrah dalam berbagai bentuknya disebut sebanyak 28 kali, 14  di antaranya berhubungan dengan bumi dan langit. Sisanya berhubungan dengan penciptaan manusia, baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Sehubungan dengan itu Allah berfirman pada surat Ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ 
 “Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama itu, yakni fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
Pada ayat lain diterangkan kronologis peristiwanya:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al-A’raf:172)
Peristiwa ini memberikan gambaran bahwa sejak diciptakan manusia itu telah membawa potensi beragama yang lurus, yaitu bertauhid (mengesakan Allah). Keadaan inilah yang disebut al-fitrah. Sehubungan dengan itu Nabi saw. bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan atas fitrahnya, maka kedua orang tuanya yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi…” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, I:465, No. hadis 1319)
Berdasarkan pemaknaan kata Fitrah di atas, maka kita dapat memahami bahwa zakat ini disebut zakat fitrah karena zakat ini merupakan shadaqah (bukti kebenaran) dari badanya dan kefitrahan pada jasadnya. (Lihat, Syekh Athiyyah Muhammad Saalim, Syarh Bulugh Al-Maraam, juz 4, hlm. 135)
(b) Zakat Fitri 
Kata fitr makna asalnya adalah robek atau terbelah, sebagaimana dalam ungkapan Fathara Naabul Ba’iir, artinya terbelah tempat taringnya untuk tumbuh. Pemaknaan itu digunakan pula dalam firman Allah Swt.
إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ
“Apabila langit terbelah.” (QS. Al-Infithar, :1)
Berdasarkan pemaknaan kata Fitri di atas, maka kita dapat memahami zakat ini disebut zakat fitri karena seakan-akan orang yang shaum “merobek atau membelah” masa shaumnya dengan makan.
Dengan demikian, zakat ini disebut zakat fitri karena yang menjadi sebab pensyariatannya adalah berbuka dari shaum pada bulan Ramadhan, penisbatan zakat kepada kata fitri merupakan bentuk penyebutan akibat (Musabbab) dengan menggunakan kata sebab (Sabab). (Lihat, Tawdhiih Al-Ahkaam Syarh Bulugh Al-Maraam, III:371)

Ketentuan Zakat Fitrah
Pada tahun ke-2 hijriah itu, selain menyebut istilah, Nabi saw. pun menetapkan beberapa aturan zakat yang amat penting diperhatikan oleh kaum muslimin, sebagai berikut:
Pertama, muzakki Zakat Fitrah/yang terkena kewajiban 
Zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh setiap orang muslim. Bagi mereka yang berada dibawah tanggungan orang lain, maka zakatnya menjadi kewajiban penanggungnya, baik ia seorang pembantu rumah tangga, seorang dewasa, ataupun seorang kanak-kanak, bahkan bayi yang telah bernyawa, yang masih didalam rahim, semuanya wajib mengeluarkan zakat fitrahnya, baik dari hartanya sendiri, ataupun oleh penanggung yang bertanggung jawab atasnya.
Di dalam hadis diterangkan:
قَالَ ابْنُ عُمَرَ : فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَىْ وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَاَمَرَ اَنْ تُؤَدَّي قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ اِلَى الصَّلاَةِ
Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu sha' dari kurma, atau satu sha dari syair (gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin. Dan beliau memerintahkan untuk ditunaikan  sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat ied. (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadis 1432)
Dalam riwayat lain diterangkan oleh Al-Hasan Al-Bishri:
خَطَبَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي النَّاسَ آخِرِ رَمَضَانَ فَقَالَ يَا أَهْلَ الْبَصْرَةِ أَدُّوا زَكَاةَ صَوْمِكُمْ قَالَ فَجَعَلَ النَّاسُ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ فَقَالَ مَنْ هَاهُنَا مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قُومُوا فَعَلِّمُوا إِخْوَانَكُمْ فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ صَدَقَةَ رَمَضَانَ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى
“Ibnu Abbas berkhutbah di hadapan orang-orang pada akhir bulan Ramadhan, lalu ia berkata, ‘Wahai penduduk Bashrah, keluarkanlah zakat shaum kalian (zakat fithrah).’ Ia (Humaid Ath-Thawil) berkata, ‘Maka orang-orang saling memandang satu dengan yang lainnya.’ Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya, ‘Siapakah di sini yang berasal dari Madinah? Bangunlah, ajarkanlah saudara-saudara kalian, karena sesungguhnya mereka tidak mengerti bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat kepada setiap budak, orang merdeka, laki-laki dan wanita pada bulan Ramadlan sebanyak setengah sha' gandum, atau satu sha' tepung, atau satu sha' kurma. (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:351, No. hadis 3291)
Pada riwayat yang lain dengan redaksi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَلَى الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ شَعِيرٍ“
bahwa Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitri atas anak kecil dan orang dewasa, yang merdeka dan hamba sahaya, lelaki dan perempuan, sebanyak setengah Sha' gandum atau satu Sha' kurma atau sya'ir (jenis gandum)." (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, III:190, No. hadis 1580, V:52, No. hadis 2515, As-Sunan Al-Kubra, II:28, No. hadis 2292; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:152, No. hadis 65)
Kata Ash-Shagiir (anak kecil) mencakup di dalamnya bayi yang masih berada didalam kandungan ibunya apabila usia kandungan itu telah mencapai umur 120 hari atau empat bulan. Sehubungan dengan itu Usman bin Afan membayar zakat fitrah bagi anak kecil, orang dewasa dan bayi dalam kandungan sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah
أَنَّ عُثْمَانَ كَانَ  يُعْطِيْ صَدَقَةَ  الْفِطْرِ عَنِ الْحَبْلِ
“Sesungguhnya Usman bin Afan memberikan zakat fitrah dari bayi yang dikandung.” (Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:432, No. 10.737)
Demikian pula dengan para sahabat lainnya, sebagaimana diterangkan oleh Abu Qilabah.
عَنْ أَبِيْ قِلاَبَةَ قَالَ كَانَ يُعْجِبُهُمْ أَنْ يُعْطُوْا زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِ الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى عَلَى الْحَبْلِ فِي بَطْنِ أُمِّهِ
Dari Abu Qilabah, ia berkata, “Adalah menjadi perhatian mereka (para sahabat) untuk mengeluarkan/memberikan zakat fitrah dari anak kecil, dewasa, bahkan  yang masih dalam kandungan. (HR.Abdurrazaq, al-Mushannaf, III:319, No. hadis 5788)
Kedua, Mustahiq/Masharif (Sasaran) Zakat 
Menurut Alquran, sasaran zakat atau yang lebih populer dengan sebutan mustahik (yang berhak menerima zakat) ada 8 ashnaf (golongan). Firman Allah Swt.:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah:60)
Bila ayat di atas kita perhatikan secara seksama, setidaknya ada dua hal yang perlu digaris bawahi; Pertama, kriteria ashnaf itu sendiri. Kedua, ushlub (gaya bahasa) Alquran dalam mengungkap sasaran zakat.

A. Kriteria Ashnaf
1. Fuqara (Fakir)
orang yang tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi kebutuhan hidupannya (primer).
2. Masakin (Miskin)
orang yang mempunyai harta dan tenaga, tapi tidak mencukupi keperluan hidupnya (primer).
3. Amilin
orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Mu'allaf
a. orang kafir yang ada harapan masuk Islam
b. orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah 
5. Riqab
orang yang memerdekakan hamba sahaya.
6. Gharimin
orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan ma'siatan dan tidak sanggup membayarnya.
7. Sabilillah
orang yang bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Islam (memelihara berlakunya kebenaran, kebaikan, dan keutamaan akhlak)
8. Ibnu Sabil
orang yang kehabisan bekal di tengah perjalanan, walaupun ia orang kaya di negerinya.

B. Ushlub (Gaya Bahasa) Alquran 
Dalam mengungkap sasaran zakat di atas Alquran menggunakan ushlub (gaya bahasa) sastra yang tinggi nilainya, yaitu pada ayat di atas terdapat dua huruf yang masing-masing mengiringi empat ashnaf pertama dan empat ashnaf kedua, yakni laam/li  dan fie. Huruf laam mengiringi kalimat:
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
al-fuqara, al- masakin, al-’amilin, dan al-muallaf qulubuhum (empat ashnaf pertama). Sedangkan huruf fie mengiringi kalimat:
وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ
ar-riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil (empat ashnaf kedua).
Penempatan kedua huruf tersebut tentunya bukan suatu kebetulan, tetapi pasti mengandung nuktah (rahasia halus) yang harus dikaji secara mendalam. Dan menurut hemat kami, penempatan kedua huruf tersebut mengandung arti bahwa empat ashnaf yang pertama adalah para pemilik dari zakat tersebut, dalam arti mereka berhak mendapat bagian untuk dirinya sendiri.
Sementara empat ashnaf yang kedua mereka berhak menerima zakat untuk kemaslahatan yang berkaitan erat dengan “acara” mereka. Seperti al-gharimun (orang yang berhutang), mereka mendapat bagian dari zakat bukan untuk dimiliki secara pribadi, tetapi untuk diserahkan kepada orang yang menghutangkannya, sehingga mereka terbebas dari hutang itu. Demikian pula dengan fie sabilillah, mereka mendapat bagian dari zakat bukan semata-mata kepentingan pribadinya melainkan tugas dan tanggung jawab dalam mengemban amanah Islam, yaitu untuk memelihara berlakunya kebenaran (al-haq), kebaikan, dan kesempurnaan akhlak. Dengan perkataan lain, untuk menegakkan agama Islam.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara garis besar sasaran zakat itu ada dua bagian:
Bagian pertama ialah ashnaf yang terdiri dari mereka yang boleh menerima zakat untuk dirinya sendiri, yaitu al-fuqara, al-masakin, al-amilin, dan al-muallaf qulubuhum. Sedangkan bagian kedua ialah ashnaf yang terdiri dari orang-orang yang berhak menerima zakat bukan semata-mata kepentingan pribadi melainkan untuk kemaslahatan “acara” mereka, yaitu ar-riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil.

Lebih jauh Imam az Zamakhsyari berpandangan bahwa perpindahan dari “li” pada empat ashnaf pertama kepada “fie” pada empat ashnaf kedua mengandung rahasia, yaitu untuk memberitahukan bahwa empat golongan kedua ini lebih layak untuk diprioritaskan daripada empat golongan pertama, sebab “fie” merupakan wadah untuk menampung, yang dengan itu Allah mengingatkan bahwa mereka lebih berhak atasnya dan menjadikannya sebagai tempat harapan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin secara umum.

Masalah sasaran zakat telah selesai kita bahas. Masih ada masalah yang mesti kita kaji, yaitu wajibkah amil mendistribusikan zakat  atau muzakki (wajib zakat) menyerahkan zakat kepada semua ashnaf yang delapan, dan menyamaratakan prosentase zakat yang dibagikan di antara mereka?

Hemat kami, semua harta zakat boleh diberikan kepada sebagian sasaran tertentu saja untuk mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syara. Disamping itu tidak ada kewajiban untuk menyamaratakan pemberian tersebut kepada individu yang diberinya, tapi boleh melebihkan prosentase bagian yang satu dengan yang lainya sesuai dengan kebutuhan, karena kebutuhan itu berbeda antara yang satu dan yang lainya. Adapun landasan syariatnya adalah sebagai berikut :
1. Dari Hudzaifah, ia berkata, “Apabila engkau memberikan zakat pada satu sasaran saja, maka hal itu cukup bagimu.” (Tafsir Ath-Thabari ,VI : 404).
2. Ibnu Abas berkata, “Apabila engkau memberikan zakat pada satu sasaran dari sasaran zakat, maka hal itu cukup bagimu. sedangkan Firman Allah : “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk para fakir......”, maksudnya agar zakat itu jangan diberikan kepada yang selain sasaran tersebut.”
3. Pendapat di atas juga menjadi pegangan Umar bin Khatab, Sa’id bin jabir, ‘Atha, Abul ‘Aliyyah, dan Ibrahim an-Nakha’i (Tafsir Ath-Thabari, Ibid.,)
4. Abu Tsaur berkata, “menurut pendapat kami, permasalahan pembagian zakat, tidaklah ada, kecuali berdasarkan ijtihad penguasa, maka mana diantara sasaran itu yang menurut penguasa lebih banyak jumlahnya dan lebih membutuhkan, itulah yang harus diutamakan. Dan mudah-mudahan dari tahun ke tahun zakat itu berpindah dari satu sasaran kepada sasaran lain. Sasaran yang lebih membutuhkan dan lebih banyak jumlahnya, senantiasa harus didahulukan dimanapun mereka berada.” (Fiqh Az-Zakah, Dr. Yusuf Al-Qardhawi, hlm. 667).
5. kebolehan memberikan zakat pada seorang mustahiq dari satu sasaran tidak ada bantahan dan tidak pula termasuk syubhat. Adapun kalimat tu’matan lil masakin  yang berkaitan dengan zakat fitrah, atau turadduna ila fuqaraihim yang berkaitan dengan zakat mal, sebagaimana yang diungkapkan oleh hadis Rasul, maka hal itu bukanlah takhshish (pengkhususan), melainkan tanshish (penekanan/prioritas) yang bersifat kondisional.
6. Adapun tentang prosentase Ibnu Qudamah menjelaskan:
وَإِنْ اجْتَمَعَ فِي وَاحِدٍ أَسْبَابٌ تَقْتَضِي الْأَخْذَ بِهَا ، جَازَ أَنْ يُعْطَى بِهَا ، فَالْعَامِلُ الْفَقِيرُ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ عِمَالَتَهُ ، فَإِنْ لَمْ تُغْنِهِ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَا يَتِمُّ بِهِ غِنَاهُ ، فَإِنْ كَانَ غَازِيًا فَلَهُ أَخْذُ مَا يَكْفِيه لِغَزْوِهِ ، وَإِنْ كَانَ غَارِمًا أَخَذَ مَا يَقْضِي بِهِ غُرْمَهُ ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْأَسْبَابِ يَثْبُتُ حُكْمُهُ بِانْفِرَادِهِ ، فَوُجُودِ غَيْرِهِ لَا يَمْنَعُ ثُبُوتَ حُكْمِهِ
“Dan jika pada salah satu terkumpul beberapa sebab yang menghendaki (melegitimasi) pengambilan zakat berdasarkan sebab itu, maka ia boleh diberi berdasarkan sebab itu. Misalkan amil yang faqir, ia punya hak mengambil bagian zakatnya. Jika tidak dapat menutupi kefakirannya, ia berhak mengambil pula untuk dapat memenuhi keperluannya itu (sebagai hak faqir). Maka jika dia sebagai prajurit (fi sabilillah), ia punya hak mengambil bagian zakat untuk keperluan perangnya. Dan jika dia seorang gharim ia punya hak mengambil bagian zakat untuk melunasi hutangnya. Karena tiap-tiap sebab itu ditetapkan hukumnya berdasarkan sebab masing-masing (bukan karena sama orangnya, tapi karena beda sebabnya). Adanya satu sebab tidak menghalangi tetapnya hukum atas sebab yang lain.” (Lihat, Al-Mughni, V:223)

Adapun hadis yang menyatakan:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
 “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:585, No. Hadis 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadis 1)
Tidak tepat bila digunakan sebagai mukhashshis (dalil yang mengecualian) bahwa zakat fitrah itu dikhususkan bagi mustahiq miskin. Karena ungkapan Thu’matan lil masaakiin (sebagai makanan bagi orang miskin) dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayan lit takhsis (keterangan pengkhusus), melainkan bayan lit tanshish (keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi mustahiq di suatu daerah tertentu.
Sedangkan hadis yang menyatakan:
أَغْنُوهُمْ عَنْ الطَّوَافِ فِي هَذَا الْيَوْمِ
“Cegahlah mereka agar tidak keliling (untuk minta-minta) pada hari ini.” (HR. Ibnu ‘Addiy dan Ad-Daraquthni)
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, statusnya dha’if. (Lihat, Bulugh Al-Maraam Min Jam’I Adillah Al-Ahkaam, hlm. 131) Karena pada pada sanadnya terdapat rawi Abu Ma’syar Najiih. Kata Imam Al-Bukhari, “Dia Munkar Al-Hadiits.” (Lihat, Nashb Ar-Raayah Fii Takhriij Ahaadits Al-Hidaayah, IV:364)

https://www.facebook.com/notes/amin-saefullah-muchtar/sejarah-syariah-zakat-fitrah-bagian-i/454801251217925
https://www.facebook.com/notes/amin-saefullah-muchtar/sejarah-syariah-zakat-fitrah-bagian-ii/454981691199881