Wednesday, November 6, 2013

AMALAN BULAN MUHARRAM DAN PERINGATAN DARI KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN DI DALAMNYA



بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 Allah ta’ala berfirman,


إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَاأَرْبَعَةٌ حُرُم ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah adalah 12 bulan dalam kitab Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya 4 bulan yang haram, itulah agama yang lurus, maka janganlah kalian menzalimi diri-diri kalian di bulan-bulan itu.” [At-Taubah: 36]

Apa saja yang dimaksud dengan bulan haram? Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,


السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ شَهْرُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Tahun itu terdiri dari 12 bulan, diantaranya 4 bulan haram; tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah dan Muharram. Adapun Rajab yang juga merupakan bulannya kaum Mudhar, berada diantara Jumaada dan Sya’ban.” [Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Bakrah radhiyallahu’anhu]

Hadits di atas menunjukkan bahwa Muharram termasuk bulan haram. Dinamakan bulan haram karena dosa dan amal saleh di bulan-bulan ini dilipatgandakan. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,


وجعل الذنب فيهن أعظم، والعمل الصالح والأجر أعظم

“Dan Allah ta’ala menjadikan dosa di bulan-bulan itu lebih besar, demikian pula amal saleh dan pahala lebih agung.” [Tafsir Ibnu Katsir, 4/148]

Disyari’atkan memperbanyak puasa di bulan ini, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,


أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَان شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah: Muharram, dan sholat yang paling utama setelah sholat wajib adalah sholat malam.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Dan lebih ditekankan lagi untuk berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,


وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاء أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

“Dan puasa hari ‘Asyuro (10 Muharram), aku harap kepada Allah dapat menghapuskan dosa setahun sebelumnya.” [HR. Muslim dari Abu Qotadah radhiyallahu’anhu]

Sahabat yang mulia, Ibnu ‘Abbasradhiyallahu’anhuma berkata,

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم
- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ
 – إِنْ شَاءَ اللَّهُ –صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِع قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyuro (10 Muharram) dan beliau memerintahkan untuk berpuasa padanya, maka sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani.” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan (juga).” Ibnu ‘Abbas berkata, belum sampai tahun depan, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam wafat.” [HR. Muslim]

Adapun hadits tentang puasa pada tanggal 11 Muharram adalah hadits dha’if, namun boleh berpuasa pada hari itu berdasarkan dalil dan alasan yang lain, yaitu:
1) Dalil umum tentang memperbanyak puasa pada bulan Muharram.
2) Dalil khusus tentang disyari’atkannya berpuasa tiga hari setiap bulan.
3) Untuk kehati-hatian agar mendapati hari ke 10 Muharram, jika penentuan awal bulan Muharram masih samar.
Kemungkaran-kemungkaran di Bulan Muharram
1) Perayaan Tahun Baru Islam
Hari ‘ied atau hari perayaan, adalah hari yang selalu dirayakan berulang-ulang, di dalam syari’at telah ditetapkan dua hari raya, yaitu ‘iedul fithri dan ‘iedul adha, ditambah dengan hari Jum’at. Maka barangsiapa menambah hari raya selain yang telah ditetapkan syari’at, berarti ia telah berbuat bid’ah, menambah-nambah dalam agama.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang para sahabat untuk merayakan hari raya selain ‘iedul fitri dan ‘iedul adha. Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ 
مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mendatangi kota Madinah, para sahabat memiliki dua hari raya yang padanya mereka bersenang-senang. Maka beliau bersabda: Dua hari apa ini? Mereka menjawab: Dua hari yang sudah biasa kami bersenang-senang padanya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu ‘iedul adha dan ‘iedul fitri.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi Daud: 1039]

Dan yang pertama mengadakan bid’ah perayaan tahun baru hijriah adalah dinasti Syi’ah Fathimiah, mencontoh dari kebiasaan orang-orang Yahudi yang biasa merayakan tahun baru mereka (Lihat Al-Bida’ Al-Hauliyah, hal. 393)
Maka semua bentuk perayaan apapun, seperti peringatan hijrahnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, isra’ mi’raj, maulid, hari kemerdekaan, hari kasih sayang, hari ibu dan lain-lain termasuk kategori bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.

Di sisi lain, perayaan-perayaan tersebut adalah bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, ditambah lagi dengan kemungkaran-kemungkaran lain yang biasa terdapat pada perayaan tersebut, seperti dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang diada-adakan tanpa ada contohnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, ikhtilat (campur baur) antara pria dan wanita, nyanyian dan musik, dan lain-lain.

2) Peringatan Hari Kesedihan dan Ratapan Syi’ah pada hari Asyuro (10 Muharram)
Pada hari Asyuro (10 Muharram) kelompok sesat Syi’ah memiliki bid’ah tersendiri, yaitu perayaan hari kesedihan dan ratapan terhadap kematian Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhuma di Karbala, Iraq yang dibunuh oleh sebagian pendukung Yazid bin Mu’awiyah tanpa persetujuan beliau.

Padahal kaum Syi’ahlah sesungguhnya yang menyebabkan kematian beliau, karena kedatangan Al-Husain radhiyallahu’anhu ke Karbala setelah menerima surat-surat undangan dari penduduk Iraq agar beliau mendatangi mereka yang menyatakan sebagai pendukung-pendukung beliau, kenyataannya ketika beliau dan rombongannya diserang oleh pasukan pendukung Yazid bin Mu’awiyah, orang-orang Syi’ah malah lari, tidak ada satu pun yang berani menolong Al-Husain radhiyallahu’anhu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وصار الشيطان بسبب قتل الحسين رضي الله عنه يحدث للناس بدعتينبدعة الحزن والنوح يوم عاشوراء
“Dengan sebab terbunuhnya Al-Husain radhiyallahu’anhu, maka setan memunculkan dua bid’ah bagi manusia, yaitu bid’ah bersedih dan meratap pada hari ‘asyuro (10 Muharram)” [Minhajus Sunnah, 2/332]

Padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
 
أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ
“Empat perkara pada umatku yang termasuk perkara Jahiliyah yang tidak mereka tinggalkan, berbangga dengan keturunan, mencaci nasab, menisbatkan hujan kepada bintang dan meratapi mayit.” [HR. Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,

النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Seorang wanita yang meratapi mayit jika tidak bertaubat sebelum mati maka pada hari kiamat ia akan dibangkitkan dengan memakai pakaian dari ter dan baju tameng dari kudis.” [HR. Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْلَطَمَ الْخُدُود وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
“Bukan bagian dari kami, orang yang menampar-nampar wajah, merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan jahiliyah (ketika ditimpa musibah).” [HR. Al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu]

Sahabat yang mulia, Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu berkata,

إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَرِئَ مِنَالصَّالِقَة وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berlepas diri dari wanita yang meraung-raung, memotong rambut dan mencabik-cabik pakaian (ketika ditimpa musibah).” [HR. Muslim]

3) Perayaan Hari Kebahagiaan Nashibah (Pembenci Ahlul Bait)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,




وكذلك بدعة السرور والفرح وكانت الكوفة بها قوم من الشيعة المنتصرين للحسين
 وكان رأسهم المختار بن أبي عبيد الكذاب وقوم من الناصبة المبغضين لعلي رضي الله عنه وأولاده ومنهم الحجاج بن يوسف الثقفي 
وقد ثبت في الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال سيكون
 في ثقيف كذاب ومبير فكان ذلك الشيعي هو الكذاب وهذا الناصبي هو المبير فأحدث أولئك الحزن وأحدث هؤلاء السرور
“Demikian pula bid’ah bergembira dan berbahagia (di bulan Muharram). Dahulu di Kufah terdapat satu kaum dari kalangan Syi’ah pembela Al-Husain, pemimpin mereka adalah Al-Mukhtar bin Abi ‘Ubaid Al-Kadzdzab (pendusta) dan satu kaum dari kalangan Nashibah pembenci ‘Ali radhiyallahyu’anhu dan anak-anak beliau, diantara pembenci tersebut adalah Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi, dan telah tsabit dalam Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Akan muncul pada bani Tsaqif seorang pendusta dan seorang pembinasa.” Maka orang Syi’ah (Al-Mukhtar) dialah si pendusta dan orang Nashibah (Al-Hajjaj) dialah si pembinasa, maka orang-orang Syi’ah memunculkan bid’ah bersedih (di hari ‘Asyuro), sebaliknya orang-orang Nashibah memunculkan bid’ah berbahagia (di hari ‘Asyuro).” [Minhajus Sunnah, 4/332-333]

4) Merasa sial di bulan Muharram
Sebagian orang menganggap bulan Muharram atau bulan Suro adalah bulan keramat yang dapat membawa kesialan, sehingga tidak boleh mengadakan pernikahan atau hajatan di bulan ini. Anggapan sial seperti ini adalah kesyirikan kepada Allah ta’ala yang dapat menyebabkan pelakunya murtad, keluar dari Islam, sebab menganggap sial sesuatu dan meyakini bahwa sesuatu itu dapat menimpakan bahaya kepadanya selain Allah ta’ala adalah syirik besar.
Aapun menganggap sial sesuatu dan meyakini sesuatu itu hanyalah sebab dan Allah yang menimpakan bahaya adalah syirik kecil, sebab Allah ta’ala tidak menjadikannya sebagai sebab yang bisa mendatangkan bahaya, maka seakan-akan ia bersekutu bersama Allah ta’ala dalam menentukan sesuatu itu sebagai sebab yang bisa mendatangkan bahaya.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَة مِنْ حَاجَته ، فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang dihalangi oleh perasaan sial untuk melakukan hajatnya maka ia telah berbuat syirik.” [HR. Ahmad dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Shahihul Jaami’: 6264]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,

الطِّيَرَةُ شِرْكالطِّيَرَةُ شِرْك وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ 
“Takut sial itu syirik, takut sial itu syirik, dan tidaklah dari kita kecuali merasa takut sial, akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakkal.” [HR. Abu Daud dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, Shahihut Targhib: 3098]

5) Ngalap berkah dari kotoran kerbau bule dan benda-benda yang dianggap keramat
Ngalap berkah dari sesuatu yang tidak ada dalil yang menunjukkan keberkahannya termasuk syirik, bid’ah dan kebodohan yang nyata. Sahabat yang mulia, Al-Harits bin ‘Auf Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu’anhuberkata,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا خَرَجَ إِلَى حُنَيْنٍ مَرَّ بِشَجَرَةٍ لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ لَهَا :
ذَاتُ أَنْوَاط يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ ، فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ ، اجْعَلْ لَنَاذَاتَ أَنْوَاط كَمَا لَهُمْذَاتُ أَنْوَاط ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
 سُبْحَانَ اللهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى {اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ} وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُم
“Bahwa ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berangkat menuju perang Hunain, beliau melewati sebuah pohon yang dijadikan tempat menggantungkan senjata-senjata oleh kaum musyrikin (untuk meminta berkah dari pohon tersebut). Pohon tersebut dinamakan dzatu amwath, maka kaum muslimin pun berkata, “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami dzatu amwath sebagaimana milik mereka”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Subhanallah, perkataan kalian sama dengan perkataan kaumnya Musa, “Buatkanlah kami sesembahan sebagaimana sesembahan-sesembahan mereka”, demi (Allah) yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan kaum sebelum kalian”.” [HR. At-Tirmidzi, Al-Misykah: 5408]

6) Upacara sesajen
Upacara sesajen termasuk bid’ah dan padanya terdapat beberapa bentuk kesyirikan, diantaranya:
Pertama: Meyakini setan-setan seperti ratu pantai Selatan dan kiai sapu jagad di gunung Merapi dapat memberikan keamanan atau melindungi dari bahaya adalah syirik besar yang menyebabkan pelakunya murtad, keluar dari Islam.
Kedua: Mendekatkan diri kepada setan-setan tersebut dengan memuliakannya dan mempersembahkan berbagai macam bentuk upacara dan sesajen, ini adalah syirik besar.
Ketiga: Menyembelih untuk selain Allah ta’ala, ini juga syirik besar, karena menyembelih itu ibadah, tidak boleh dipersembahkan untuk selain Allah ta’ala.

7) Mengkhususkan hari untuk saling memaafkan, ini termasuk bid’ah karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

8) Mengkhususkan hari untuk ibadah dan doa tertentu di awal dan akhir tahun hijriah, ini juga termasuk bid’ah karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan menunjukkannya.

9) Ucapan selamat tahun baru hijriah, ini tidak disyari’atkan (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/454/20795)

10) Keyakinan bahwa amalan diangkat di akhir tahun dan beramal shalih dengan maksud untuk penutupan tahun
Tidak ada satu dalil shahih pun yang menunjukkan akhir atau awal tahun hijriah adalah waktu pengangkatan amal saleh dan amalan khusus untuk penutupan tahun, maka hal itu termasuk bid’ah, terlebih penggunaan awal dan akhir tahun hijriah ini baru dimulai di masa khilafah ‘Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu.

Al-‘Allamah Ibnul Qoyyimrahimahullah berkata,

عمل العام يرفع في شعبان كما أخبر به الصادق المصدوق أنه شهر ترفع فيه الأعمال فأحب أن يرفع عملي
 وأنا صائم ويعرض عمل الأسبوع يوم الاثنين والخميس كما ثبت ذلك في صحيح مسلم وعمل اليوم يرفع في آخره قبل الليل
 وعمل الليل في آخره قبل النهار
“Amalan setahun diangkat di bulan Sya’ban sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, orang yang benar lagi dibenarkan, bahwa Sya’ban adalah bulan diangkat padanya amalan-amalan maka aku ingin ketika diangkat amalanku dan aku sedang berpuasa. Dan diperhadapkan amalan sepekan pada hari Senin dan Kamis sebagaimana telah tsabit dalam Shahih Muslim, dan amalan sehari diangkat pada akhir hari sebelum malam, dan amalan semalam diangkat pada akhir malam sebelum siang (sebagaimana dalam hadits Abu Musa riwayat Al-Bukhari).” [Haasyiyatu Ibnil Qoyyim ‘ala Sunan Abi Daud, 12/313 dan Thariqul Hijratain wa Baabus Sa’adatain, hal. 133]
WaLlaahu Ta’ala A’lam.

http://nasihatonline.wordpress.com/2013/11/02/amalan-bulan-muharram-dan-peringatan-dari-kemungkaran-kemungkaran-di-dalamnya/

BULAN MUHARRAM (SURO, JW) BUKAN BULAN SIAL

“Bulan Muharram telah tiba, jangan mengadakan hajatan pada bulan ini, nanti bisa sial.” Begitulah kata sebagian sebagian orang di negeri ini. Ketika hendak mengadakan hajatan, mereka memilih hari/bulan yang dianggap sebagai hari/bulan baik yang bisa mendatangkan keselamatan atau barakah. Dan sebaliknya, mereka menghindari hari/bulan yang dianggap sebagai hari-hari buruk yang bisa mendatangkan kesialan atau bencana. Seperti bulan Muharram (Suro) yang sudah memasyarakat sebagai bulan pantangan untuk keperluan hajatan. Bahkan kebanyakan mereka meyakininya sebagai prinsip dari agama Islam. Apakah memang benar hal ini disyariatkan atau justru dilarang oleh agama?

Maka simaklah kajian kali ini, dengan penuh tawadhu’ untuk senantiasa menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah ?.

Apa Dasar Mereka Menentukan Bulan Suro Sebagai Pantangan Untuk Hajatan?

Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka, “Mengapa anda berkeyakinan seperti ini ?” Niscaya mereka akan menjawab bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang tua”, demikianlah kenyataannya.

Para pembaca sekalian, dalil “apa kata orang tua”, bukanlah jawaban ilmiah yang pantas dari seorang muslim yang mencari kebenaran.
 Apalagi permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah seseorang. Maka permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah, benarkah atau justru dilarang oleh agama?
 Sikap selalu mengekor dengan apa kata orang tua dan tidak memperdulikan dalil-dalil syar’i, merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru oleh Rasulullah ? untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa kata mereka? :


“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)

Jawaban seperti ini juga mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Ibrahim ? ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.
 
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)

Demikian juga Fir’aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di lautan? Ya, mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, mereka mengatakan:
 
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …” (Yunus: 78)
 Kaum ‘Aad yang telah Allah ? binasakan juga mengatakan sama. Ketika Nabi Hud ? menyeru mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan kesyirikan, mereka mengatakan:

 “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al A’raf: 70)

Apa pula yang dikatakan oleh kaum Tsamud dan kaum Madyan kepada nabi mereka, nabi Shalih dan nabi Syu’aib?
 Mereka berkata: “Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?…” (Hud: 62)
 
“Wahai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kami agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami …” (Hud: 87)
 Demikianlah, setiap rasul yang Allah utus, mendapatkan penentangan dari kaumnya, dengan alasan bahwa apa yang mereka yakini merupakan keyakinan nenek moyang mereka.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ
 “Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)

Lihatlah, wahai pembaca sekalian, mereka menjadikan perbuatan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan untuk beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada mereka.

ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
 “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al Baqarah: 170)

Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam, telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa mengikuti dan mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah ? dan Rasul-Nya ?. Allah berfirman :

اتَّبِعُوا مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ
 “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)

Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyyah
 Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan (walimah, dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya?

Ya, karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan Tathayyur atau Thiyarah , yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
 Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa kerugian dalam usahanya.

Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya.

ۗ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
 “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raf: 131)

Tathayyur Termasuk Kesyirikan Kepada Allah
 Seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah ?.
 Rasulullah ? yang telah mengkabarkan demikian, dalam sabdanya:

“Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)

Para pembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya:
 1. Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah ?. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah ? perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya, keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah ?.
 Allah berfirman :

إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُم ۚ مَّا مِن دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا ۚ
 “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (Hud: 56)
 2. Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah berfirman :

اللَّهُ الصَّمَدُ
 “Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)

Para pembaca, orang yang tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan;
 Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
 Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
 Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.

Bagaimana Menghilangkannya?
 Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur, maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
 ‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang shahabat Rasulullah telah membimbing kita bahwa tathayyur ini bisa dihilangkan dengan tawakkal kepada Allah.

Tawakkal yang sempurna, dengan benar-benar menggantungkan diri kepada Allah dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, dan mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa seseorang, baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, dia yakin bahwa itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan hikmah.
 Rasulullah juga mengajarkan do’a kepada kita:

“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad)

Hakekat Musibah
 Suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Ketahuilah bahwasanya musibah itu bukan karena hajatan yang dilakukan pada bulan Muharram, tetapi musibah itu merupakan ujian dari Allah.
 Orang yang beriman, dengan adanya musibah itu akan semakin menambah keimanannya karena dia yakin Allah menghendaki kebaikan padanya.

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” (HR. Al Bukhari)
 Ketahuilah, wahai pembaca, bahwa musibah yang menimpa seseorang itu juga merupakan akibat perbuatannya sendiri. Allah berfirman :

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
 “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …” (Asy Syura: 30)
 Yakni disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan manusia.

Tinggalkan Tathayyur, Masuk Al Jannah Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab
 Salah satu keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa orang yang mentauhidkan Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari mereka akan merasakan adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang dilakukannya.

Namun di antara mereka ada sekelompok orang yang dijamin masuk ke dalam Al Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Jumlah mereka adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang darinya membawa 70.000 orang. Siapakah mereka?
 Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:

“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (suatu pengobatan dengan menempelkan besi panas ke tempat yang sakit), tidak melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal kepada Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Meraka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika ditimpa kesialan atau kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan tertentu atau tanda-tanda tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah.

Semoga tulisan yang singkat ini, dapat memberikan nuansa baru bagi saudara-saudaraku yang sebelumnya tidak mengetahui bahaya tathayyur dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.


sumber : http://salafy.or.id/blog/2009/12/04/bulan-muharram-disebut-suro-jw-bukan-bulan-sial/