Aqidah Secara Etimologi
Aqidah berasal dari
kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Kalimat “Saya ber-i’tiqad begini” maksudnya:
saya mengikat hati terhadap hal tersebut.
Aqidah adalah apa
yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan “Dia mempunyai aqidah yang benar”
berarti aqidahnya bebas dari keraguan. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu
kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu.
Aqidah Secara Syara’
Yaitu iman kepada
Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, para RasulNya dan kepada Hari Akhir
serta kepada qadar yang baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai
rukun iman.
Syari’at terbagi menjadi
dua: i’tiqadiyah dan amaliyah.
I’tiqadiyah adalah
hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal. Seperti i’tiqad
(kepercayaan) terhadap rububiyah Allah dan kewajiban beribadah kepadaNya, juga
beri’tiqad terhadap rukun-rukun iman yang lain. Hal ini disebut ashliyah
(pokok agama). [Syarah Aqidah Safariniyah, I, hal. 4]
Sedangkan amaliyah
adalah segala apa yang berhubungan dengan tata cara amal. Seperti shalat,
zakat, puasa dan seluruh hukum-hukum amaliyah. Bagian ini disebut far’iyah
(cabang agama), karena ia dibangun di atas i’tiqadiyah. Benar dan rusaknya
amaliyah tergantung dari benar dan rusaknya i’tiqadiyah.
Maka aqidah yang
benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal.
Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta’ala:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi: 110)
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu
dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan),
niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang
merugi.” (Az-Zumar: 65)
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّين
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
keta’atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih
(dari syirik).” (Az-Zumar: 2-3)
Ayat-ayat di atas
dan yang senada, yang jumlahnya banyak, menunjukkan bahwa segala amal tidak
diterima jika tidak bersih dari syirik. Karena itulah perhatian Nabi
Shallallaahu alaihi wa Salam yang pertama kali adalah pelurusan aqidah. Dan
hal pertama yang didakwahkan para rasul kepada umatnya adalah menyembah Allah
semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain Dia.
Sebagaimana firman
Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوت
‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
Thaghut itu’, …” (An-Nahl: 36)
Dan setiap rasul
selalu mengucapkan pada awal dakwahnya: “Wahai kaumku sembahlah Allah,
sekali-kali tak ada tuhan bagimu selainNya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85)
Pernyataan tersebut
diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib dan seluruh rasul. Selama 13
tahun di Makkah -sesudah bi’tsah- Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam mengajak
manusia kepada tauhid dan pelurusan aqidah, karena hal itu merupakan landasan
bangunan Islam. Para da’i dan para pelurus agama dalam setiap masa telah
mengikuti jejak para rasul dalam berdakwah. Sehingga mereka memulai dengan
dakwah kepada tauhid dan pelurusan aqidah, setelah itu mereka mengajak kepada
seluruh perintah agama yang lain.
(Kitab Tauhid, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan)