Setiap pasangan yang telah diikat dengan
hubungan pernikahan dalam menjalani kehidupan rumah tangganya, pada umumnya
akan merasa lebih bahagia bila dikaruniai keturunan sebagai pelengkap
kebahagianaan dalam berumah tangga atau anak sebagai penerus garis keturunan
keluarga.
Namun bukan berarti tidak akan bahagia bila
sebuah rumah tangga tidak dikarunia anak. Berbagai cara ditempuh bila ingin
mendapatkan anak, ada yang secara medis, cara tradisional, bahkan cara-cara
harampun dijalaninya. Hanya saja wajib untuk diingat, bahwa untuk hal ini
segalanya tergantung atas kehendak Allah SWT.
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَخْلُقُ مَا
يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ
أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ
مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
“Artinya : Kepunyaan Allah-lah
kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia
memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan
anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugrahkan kedua
jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendakiNya), dan Dia
menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui
lagi Mahakuasa” [Asy-Syura : 49-50]
Seringkali kita menganggap bahwa anak itu
merupakan milik kita sendiri, sehingga apapun akan dilakukan demi anak kita.
Dan setiap orangtua berbeda-beda dalam menjalankannya, ada yang dengan cara yang
baik atau buruk. Cara membesarkannya, cara mendidiknya, membentuk
kepribadiannya, mengharapkan masa depannya, dan lain sebagainya.
إِنَّمَا
أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya hartamu dan
anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. [Q.S At-Taghabun :15]
Dalam hal ini, terkadang kita akan merasa
begitu sedih bila ternyata Alloh tidak mengkaruniakan keturunan kepada kita.
Sehingga yang terbayang adalah tidak adanya penerus keluarga, tidak akan
mendapat kesempatan mendapatkan doa anak sholih bila kita telah tiada, tidak
ada pewaris harta kita, dan lain sebagainya.
Perlu untuk disadari bahwa anak itu tidak
selalu bermakna anak kandung atau anak yang lahir secara genetik dari diri kita
(suami istri). Tetapi Islam membuka dan menetapkan bahwa anak itu merupakan
titipan/amanat yang ada di bawah pemeliharaan kita. Jadi anak di sini akan
bermakna tidak saja dari hasil pernikahan kita atau keturunan secara genetik,
tetapi juga merupakan bukan anak kandung, atau dengan kata lain anak dari orang
lain. Baik itu anak saudara atau kerabat, atau bahkan anak orang lain, yang
kita asuh dan kita didik, siapapun itu, terutama Islam sangat menganjurkan
untuk memelihara anak Yatim. Apapun caranya, baik itu dengan menginfakan
sebagian hartanya untuk panti asuhan, atau yang lebih utama ialah mengambil
anak-anak yatim itu untuk dipelihara di rumah kita. Hanya saja dalam hal ini
perlu untuk dipahami aturan-aturan dalam pemeliharan anak ini secara hukum
dalam Islam, baik aturan dalam hal batasan-batasan mahram, nasab dan waris.
كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ
وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُ لَّهُمْ
خَيْرُُ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ
"Dan mereka bertanya
kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:”Mengurusi urusan mereka secara patut
adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah
saudaramu". [al Baqarah : 220].
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً
"Sesungguhnya orang-orang
yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala".
[an Nisa’: 10].
Bila kita tafakuri, anak itu seperti juga harta
yang kita miliki, yang pada hakikatnya adalah titipan atau amanah yang
diberikan pada kita. Anak merupakan sebuah titipan yang tentu saja pada
hakikatnya milik Allah SWT.
Sebagai sebuah titipan, tentu saja berlaku
kondisi dan syarat atas titipan tersebut. Seperti bila kita mendapat titipan
sebuah barang milik orang lain, tentu saja kita akan sangat berhati-hati dalam
menjaganya, agar yang mempunyai barang tersebut merasa sangat berterima kasih.
Apalagi hal ini yang menitipkannya adalah Yang Maha Menguasai, tentu saja semua
aturan penitipan ini harus sesuai dengan ketentuan yang Empunya, tidak boleh
seenaknya dan tidak boleh sembarangan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ
اللّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban terhadap yang dipimpin. Maka, seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
Dalam proses penjagaan amanat ini, segala sesuatunya akan lebih baik bila dipersiapkan secara matang sebelumnya. Kita tidak hanya sekedar membesarkan anak-anak kita dengan begitu saja secara alamiah. Tapi dalam setiap tahap dari mulai kita akan dikaruniai anak sampai tahap pembentukan anak menjadi manusia dewasa.
Islam merupakan aturan hidup yang sangat
lengkap yang mengatur segala aspek dalam perikehidupan manusia. Tidak hanya
dalam hal kerohanian dan masalah keakhiratan saja (aqidah, ibadah, akhlak,
dll), tetapi juga dalam hal jasmaniyah dan keduniawian. Kita dibatasi oleh
rambu-rambu peraturan yang bila kita menaatinya insyaAlloh akan selamat, namun
bila tidak, siap-siap saja menerima konsekuensinya.
Seperti hubungannya dengan permasalahan
tersebut di atas. Saat seorang laki-laki atau seorang suami yang bertanggung
jawab sebagai pemimpin keluarga. Salah satu tugasnya ialah menafkahi keluarganya.
Bila dia seorang yang takut akan perhisaban nanti, maka dia akan sangat
berhati-hati dalam mencari nafkah untuk keluarganya. Dipilihlah hal-hal yang
halal dan dijauhinya lah hal-hal yang syubhat dan haram. Agar diri dan
keluarganya terhindar dari barang dan makanan atau cara mendapatkannya yang
syubhat dan haram. Sehingga akan terhindar dari mengalirnya darah dalam tubuh
yang mengandung zat haram.
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ
وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam
bersabda; ''Setiap dari kalian adalah pemimpin,dan bertanggung jawab atas
orang-orang yang di pimpinnya...'' [HR.Muslim]
“Artinya : Barangsiapa diberi
amanah oleh Allah untuk memimpin lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya
dalam keadaan mengkhianati amanahnya itu, niscaya Allah mengharamkan sorga
bagianya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
Kembali ke permasalahan anak. Begitupun bila
saat kita akan dikarunia anak, maka hal tersebut di atas sangatlah perlu untuk
diperhitungkan, sehingga saat Alloh berkenan mengkaruniakan anak kepada kita,
proses pembentukkannya aman dari hal-hal yang haram, tidak saja dilihat dari
segi kesehatan, gizi, atau kualitasnya. Dan tentu saja dalam menjaga dari
hal-hal yang haram tersebut untuk selamanya.
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ
تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Artinya : Sesungguhnya Allah
telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya” [Al-An’am : 119]
Semoga kita dapat menjaga diri kita dari
hal-hal yang syubhat dan haram, agar mendapatkan keturunan yang
sholeh/sholehah. Dan semoga Alloh senantiasa menjaga kita untuk tetap istiqomah
dalam menjaganya. Amin.
Wallahu’alam bishowab.
Abu Muazzam, 05 Juni 2012, 22.30