Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Perintahkan anak-anak kalian untuk tunaikan
shalat saat usia mereka telah menginjak tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila
tak tunaikan shalat) saat usia mereka menginjak sepuluh tahun….” (HR. Abu
Dawud)
Dalam hadits tersebut
terkandung hikmah yang mendalam. Hikmah yang memberi pelajaran terkait memola
kebiasaan pada anak agar rajin beribadah. Dalam hadits tersebut memberi faidah,
bahwa menerapkan satu kebajikan perlu tahapan-tahapan yang jelas. Bagaimanapun
seorang anak memerlukan proses waktu agar bisa melaksanakan sebuah amal shalih.
Seorang anak terkadang tak
bisa menunaikan secara instan. Dari hadits ini menunjukkan betapa Islam sarat
dengan rahmah (kasih sayang), mengerti keadaan anak. Juga terkandung muatan,
betapa Islam mengajarkan untuk tidak melakukannya secara tergesa-gesa. Namun,
secara bertahap. Inilah bentuk kasih Islam kepada makhluk yang masih lemah;
anak.
Menanamkan kebiasaan baik pada anak, terkhusus
shalat, bisa diupayakan melalui tahapan:
Pertama, tahap imitasi. Tahap anak
melihat dan meniru apa yang dikerjakan orang tua, pendidik, guru, ustadz
sebagai figur. Pada tahapan ini, orang tua, pendidik, guru, ustadz menjadi
obyek pengamatan sang anak. Dari perilaku dan sikap yang ditujukkan orang tua,
pendidik, guru, ustadz, seorang anak memperoleh gambaran bagaimana sebuah amal
shalih harus ditunaikan. Tahap ini merupakan tahap pengkondisian.
Kedua, tahap perintah. Tahap anak
mendapat bimbingan dan arahan dalam bentuk perintah. Anak diperintah untuk
menunaikan sebuah kebajikan. Dengan tanpa meninggalkan sifat sabar dan rahmah,
orang tua, pendidik, guru, ustadz secara terus menerus mengingatkan anak untuk
beramal kebajikan. Terkait masalah shalat, anak usia tujuh tahun telah
diperintahkan untuk senantiasa menunaikannya. Jika sehari lima kali diingatkan
untuk menunaikan shalat, berapa ribu kali anak diingatkan selama tiga tahun?
Yaitu, diingatkan dan diperintah untuk shalat hingga usianya mencapai sepuluh
tahun. Ribuan kali perintah terus berulang pada diri anak, tentu sebuah bentuk
penanaman kebiasaan baik yang sangat intens. Allahu akbar.
Tahap ketiga, tahap
hukuman. Tahap anak mendapat sanksi manakala lalai dari kewajiban yang harus
ditunaikan. Tahap hukuman adalah sebuah tahap yang ditempatkan setelah
dilakukannya proses pengkondisian, bimbingan, arahan, dan perintah. Sebuah
proses yang dilakukan dalam waktu yang tak sedikit. Dalam menjatuhkan hukuman
tetap harus berada dalam kerangka hikmah (bijak) dan adil. Tujuan menghukum
adalah agar anak jera, yaitu agar anak tak lagi melakukan perbuatan yang
dilarang. Bukan sebagai bentuk pelampiasan kejengkelan, amarah apalagi untuk
membalas dendam.
Pemberian hukuman pada anak
jangan sampai menjadikan ia membenci kebaikan dan menghindar dari orang-orang
yang berbuat kebajikan. Memberi hukuman dalam bentuk memukul, tentu ada
batasan-batasannya. Seperti, dilarang memukul wajah, bagian tubuh yang vital,
dilarang memukul yang menimbulkan trauma (luka) fisik atau psikis, menimbulkan
bekas, seperti memar dan lebam, dan sebagainya. Nas’alullaha as-salamah.
Wallahu a’lam. Al Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin (sumber : www.salafy.or.id)