Dalam sebuah hadits dari
Abi Qatadah Al-Harits bin Rib’i radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sesungguhnya saya hendak tunaikan shalat.
Saya menginginkan shalat itu berlangsung lama. Lantas saya mendengar seorang
anak menangis, maka saya pun lantas meringkas shalat saya itu. Khawatir (tangis
anak itu) itu membuat galau sang ibu”. (HR. Al-Bukhari)
Hadits di atas
menggambarkan betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan seorang
yang penyayang. Sosok yang begitu peduli dan peka dengan lingkungan yang
berkembang di sekitarnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sosok
yang tak mengutamakan kepentingannya sendiri. Walau keinginannya yang kuat
untuk berlama-lama tunaikan shalat, namun saat mendengar seorang anak menangis,
beliau merubah keinginannya tersebut. Beliau ringkas shalatnya karena khawatir
ibu dari anak itu gelisah tak menentu. Begitu penuh lembut, sarat rahmah,
sangat peduli dan tak ingin menyusahkan orang lain, itulah diantara kepribadian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terekam melalui hadits di atas.
Melalui hadits itu pula,
terkandung pelajaran bahwa ada orang tua yang mengajak anaknya ke masjid.
Tindakan mengajak anak ke masjid tentu saja bukan merupakan larangan.
Barangkali ada orang beranggapan, mengajak anak ke masjid hanya akan membuat
gaduh di masjid. Dengan kegaduhan yang ditimbulkan anak akan menjadikan tidak
khusyu’nya dalam beribadah. Apakah dengan alasan keinginan khusyu’ beribadah
lantas melarang anak ke masjid? Tentu, alasan ini perlu dikaji kembali. Memang
benar beribadah memerlukan kekhusyu’an, ketenangan dan tidak diiringi
kegaduhan. Namun, bukankah tidak lantas harus mencegah anak dari masjid?
Bagaimana pun anak memiliki
hak untuk dekat dan mengenal masjid. Menanamkan pada jiwa anak cinta kepada
masjid sebagai tempat ibadah yang mulia harus dilakukan sedini mungkin. Dalam
hal ini, sistem pengelolaan dan pengaturan oleh pengurus masjid bekerja sama
dengan orang tua, harus ditata sebaik mungkin. Sehingga, anak tidak menjadi
korban lantaran keinginan beribadah yang khusyu’ dan tenang. Dengan penataan
yang baik, insya Allah kekhusyu’an dan ketenangan beribadah tercapai dan anak
pun tak mesti harus dilarang mendekat ke masjid.
Menanamkan pada diri anak
senang mengunjungi masjid merupakan tanggung jawab orang tua. Masjid adalah
tempat yang mulia, sebuah tempat yang sangat kondusif dalam menumbuhkan
kecintaan anak kepada Allah Ta’ala, menanamkan nilai-nilai sosial, kebersamaan,
dan tasamuh (tenggang rasa dan lapang dada). Dari masjid, kehidupan beragama
pada diri anak ditumbuhkan. Sebuah penanaman moral tingkat tinggi bisa dirintis
dari masjid. Masjid memberi keteduhan bagi hati nan gersang.
Dekatkan anak-anak kita
dengan masjid. Biarkan jiwanya tumbuh dan tergantung kepada masjid. Sungguh,
sebuah kenyataan yang tak menyamankan hati kala masjid banyak dibangun namun
tak dimakmurkan kaum muslimin. Akhirnya, masjid menjadi bangunan tak bermakna.
Apalagi anak-anak, orang tua pun enggan melangkahkan kakinya ke masjid. Sebuah kenyataan di beberapa tempat yang harus
dirubah tentunya. Semoga dari masjid lahir generasi muslim yang tangguh dan
mampu menghadapi kehidupan zaman yang semakin tergerus hawa nafsu. Wallahu
a’lam. Al Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin (sumber: www.salafy.or.id)
No comments:
Post a Comment